Nama Maluka sering disebut dalam dalam sumber-sumber Kolonial[1] biasanya ditulis dengan sebutan Maloeka atau Molukko,. dapat ditemukan misalnya di dalam Tractaat 13 Agustus 1787 dan Alteratie en Ampliatie Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin Van 1 Januarij 1817 yang menyebut daerah Maluka dengan Molucco. Begitupun dengan istilah yang terdapat di dalam Contract Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826 Maluka disebut dengan Molukko.
Sementara itu di dalam Ampliate En Verklaring Op Het Contract Met Den Sultan Van Bandjarmasin 18 Maret 1845 disebut atau ditulis dengan Maloekoe, sama dengan yang digunakan J.P. Moquette.dalam artikelnya Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka, yang terdapat dalam Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde (1906). J.P. Moquette (1906) dalam artikelnya itu menuliskan :
“ Uit dit besluit zien we eerstens dat Alexander Hare de landstreek, door hem geoccupeerd onder den naam Maloeka (elder moloeka of Molukko genoemd), werkeljk in vollen eigendom verkreeg, en wel in October 1812, doch ten tweede, dat de aanbieding hem reeds 4 jaren te voren dus ±1808 gedaan werd………”
(Yang pertama tanpa oleh kami dalam keputusan itu adalah daerah Alexander Hare melalui kesibukannya di bawah nama Maloeka (sebelumnya disebut Moloeka dari nama Malukko) sungguh lalulintas hak pengelolahan hak milik kami yang telah berjalan baik pada Oktober 1812, tetapi di tahun kedua ia sudah memberikan kemajuan selama 4 tahun, jadi mulai dilakukan kurang lebih tahun 1808……..)
Hal ini perlu dikemukakan karena seringkali generasi baru yang meneliti sumber-sumber kolonial sering dikacaukan dengan kata Maluku atau bahkan Malaka yang ditulis persis atau bahkan sama. Sebagai perbandingan dapat dilihat dari Penyebutan daerah Maluku yang dapat di ikuti dari penjelasan berikut ini . Ditinjau dari kerangka kronologis tentang asal kata nama Maluku [3]. Pertama, Penamaan Maloko yang terdapat dalam Sejarah Ternate, Kronik Kerajaan Bacan, Hikayat Tanah Hitu. Kedua, dari sumber asing seperti karya Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indian jilid II menyebutkan kata Maluku berasal dari kata Kolano Moloko[4].
Selain itu sumber Cina mengatakan adanya daerah Mi-li-ku, dan berita Portugis (Gabriel Robel) mengatakan imformacao das cousas sobre as Molucas [5]. Dilain pihak pada masa VOC disebut dengan daerah Molukken, misalnya dalam kata Gouvernement de Molukken.[6] yang pada Abad Ke-19 tertulis dalam surat-surat Belanda.
Pemberian nama Molukken ini menurut Luhulima (1971), ada tiga sebab yaitu pertama, kecenderungan orang-orang Eropa sejak awal hubungan mereka dengan daerah rempah-rempah, untuk menyamakan daerah itu dengan kerajaan Ternate. Kedua, adanya gelar kolano moloko yang dipakai oleh raja Ternate yang menandakan betapa luasnya kerajaan Ternate (wilayahnya), misalnya daerah Banda yang dimasukkan dalam pengertian Maluku karena daerah Banda adalah penghasil rempah-rempah. Sebab yang ketiga adalah adanya persfektif monopoli VOC semua daerah yang menghasilkan pala, lada atau cengkeh merupakan satu kesatuan dengan daerah lainnya yang menghasilkan rempah-rempah pula, yang masuk dalam Gouverneur der Molukken [7]. Jadi nama Maluku sesuai dengan sumber sejarahnya disebut dengan Molucas atau Miliku dan Moloko, pada Abad Ke-10. [8]
Sampai sekarang belum pernah ada tulisan khusus yang membahas tentang adanya kemiripan toponim atau kemiripan nama tersebut. Karena itu penulis berusaha menginterpretasikan sendiri berdasarkan bahan atau data sejarah yang disandarkan pada fakta sejarah yang ada, penulis mengajukan hipotesa, yaitu bahwa yang dimasukkan dalam pengertian Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah (semua daerah yang menghasilkan rempah-rempah, diantaranya lada), selanjutnya yaitu adanya persfektif monopoli VOC bahwa semua daerah yang menghasilkan pala, lada atau cengkeh merupakan satu kesatuan dengan daerah lainnya yang menghasilkan rempah-rempah pula.
Nama Maluka yang timbul belakangan, yaitu tahun 1787 pada masa kekuasaan VOC, adalah merupakan penyebutan dari bangsa Eropa, yang diperkirakan berasal dari kata Maluku. Daerah Maluka sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Raffles bahwa pada awalnya memang adalah daerah penghasil lada atau rempah-rempah. [9]
3.2. Letak, Luas dan Kondisi Wilayah
Menurut Idwar Saleh (1960), pada umumnya sifat-sifat sungai di Kalimantan adalah mempunyai perbedaan-perbedaan yang tinggi pada permukaan air pada sepanjang alirannya, membangun gosong-gosong pasir dan banjir serta pembentukan rawa-rawa sepanjang tebing menuju ke muara. Pantainya penuh rimba kayu bakau dan pohon nipah yang kemudian disambung dengan hutan-hutan yang lebat kepedalaman yang amat sukar dimasuki. Karena letaknya pada daerah tropis dan pada garis equator, iklimnya yang lembab dan hujan yang turun banyak sekali [10]. Adanya keadaan alam ini pulalah yang menjadikan daerah Kalimantan Tenggara dan khususnya daerah Maluka sebelum dibuka oleh Inggris dan dijadikan daerah konsesi, seakan-akan tidak pernah tersentuh.
Dipertegas oleh Idwar Saleh (1960) [11] bahwa akibat keadaan alam, lebatnya hutan rimba, perhubungan sungailah yang menjadi faktor terpenting yang menjadi lalu lintas perdagangan [12], penanaman kekuasaan, pemasukan kebudayaan dari luar oleh golongan emigran yang merupakan penduduk dari daerah di sekitarnya atau dari pedagang asing.
Luas wilayah Konsesi Maluka dari dahulu apabila dibandingkan dengan sekarang dalam tinjauan temporal memperlihatkan adanya perbedaan dan perubahan dilihat dari beberapa dasawarsa maupun kurun waktu (spasial). Daerah Konsesi Maluka dulunya sangat luas apabila dibandingkan dengan daerah Maluka yang ada sekarang.
Keberadaan daerah Maluka yang luas dan strategis tersebut adalah merupakan ciri khas tersendiri dari daerah Maluka. Sehingga tidak salah apabila J.P.Moquette (1906) mengemukakan adanya kesan optimisme dari Alexander Hare tentang daerah tersebut[13].
Pada tahun 1812 Alexander Hare diangkat menjadi residen di Banjarmasin. Pada awalnya yaitu tahun 1808 Hare yang berkedudukan sebagai pengusaha partikulir sudah mencari daerah subur dan strategis dan kemudian menemukan daerah Maluka, Hare lalu meminta daerah tersebut kepada sultan Banjar dan diberikan serta merta dan statusnya menjadi daerah konsesi. Hare kemudian menetap di Banjarmasin sampai tahun 1812 pada saat dia diangkat menjadi Residen dan mulai menjalankan pemerintahannya pada tahun tersebut. Perlu dipahami bahwa pada saat itu Hare mulai memikirkan keinginan sendiri.
Pada dasarnya Hare merasa senang mengerjakan kontrak dengan pemerintah Inggris (EIC) maupun Sultan Banjar. Kepuasan yang besar dirasakan Hare atas adanya pengakuan dari Raffles, maupun adanya kepercayaan terhadapnya. Pada tahun 1812. setelah adanya perjanjian dengan Sultan Sulaiman, maka Sultan memberikan tanah konsesi itu secara formal kepada Hare serta melakukan pemerintahan atas daerah yang diberikan kepada Inggris yang terdapat dalam perjanjian atau Treaty 1812.
Dalam artikel Moquette (1906) daerah Konsesi Maluka digambarkan sebagai daerah yang membujur atau membentang di utara tepatnya pertengahan Sungai Martapura sampai sumber atau asal sungai tersebut[14] lurus ke Selatan sampai ke laut. Selanjutnya dari perbatasan laut sampai ke seberang benteng Tatas dan Sungai Martapura, lurus ke utara sampai ½ sungai bagian sungai Bantal, termasuk daerah Bati-Bati dan pantainya serta tanah Oedjong Bati dan wilayah taman Margarita [15]. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa daerah konsesi Maluka sebenarnya memang sangat luas.
Daerah Alexander Hare tersebut yang semua wilayahnya dinamakan Maloeka [16] adalah merupakan tanah dalam hak pengelolahan atau hak milik sendiri (eigendom atau konsesi), akan tetapi mengatasnamakan EIC. Semua usaha perekonomian Hare yang dikembangkan di daerah tersebut telah berjalan dengan baik sampai bulan Oktober 1812. Daerah yang dibuka atau dikelola mulai tahun 1808 tersebut sudah memberikan kemajuan dan hasil yang bagus setelah berlangsung selama 4 tahun.
Bambang Subiyakto (2003) selanjutnya menambahkan bahwa wilayah Konsesi Maluka merupakan bagian dari daerah perairan di Kalimantan Selatan yang cukup ramai bagi pelayaran aktivitas sungai, sekaligus juga pelayaran laut. Perairan pantai terdapat pada daerah Tanah Laut sampai Pulau Laut. Panjang perairan garis pantai itu dimulai dari daerah Maluka sampai ke daerah Pasir. Beberapa sungai penting bermuara di sepanjang pantai itu adalah Maluka, Kurau, Tambangan, Tobanio [17], berada di daerah (distrik) Tanah Laut, serta Batulicin, Pagatan, dan Pasir berada di daerah (distrik) Kotabaru [18].
Dalam hal ini dapat diterapkan teori dari Bernett Bronson yang berpendapat bahwa pola permukiman dan aktivitas perdagangan dapat terbentuk oleh aliran sungai. Teori Bronson tersebut dikenal dengan teori dendritik yang dibuat dengan model jangkauan wilayah Asia Tenggara. Daerah konsesi Maluka sebagai daerah di pinggir sungai dan bagian dari daerah aliran sungai Maluka sangat tepat menjadi daerah perdagangan, pertanian dan perkebunan dan ini diperhitungkan dengan matang oleh Inggris untuk menempatkan Maluka sebagai daerah pengembangan usahanya.[19]
Model serupa juga telah diajukan oleh Miksic yang berasumsi bahwa faktor kondisi setempat seperti jalur komunikasi darat maupun sungai, kegiatan lalu lintas yang terbentuk dapat diperhitungkan sebagai sumberdaya yang menentukan pola pemukiman dan pola pertanian dan perdagangan. Dari sini dapat kita lihat bahwa dukungan faktor geografis di daerah Maluka yang strategis dapat berpengaruh pada terbentuknya kegiatan perdagangan.[20]
Sebagai contoh tentang pentingnya keberadaan sungai Maluka yang dipakai untuk kegiatan pelayaran, misalnya mengenai perjalanan A.L. Weddik pada bulan Juli-Agustus 1846 dari Banjarmasin ke Tanjung Sambar. Weddik melakukan perjalanan berikutnya pada bulan november 1846 ke daerah Maluka, menggunakan kapal uap Playdes dengan nakhoda Clijver, perjalanan itu menempuh sungai Martapura, sungai Barito, perairan pantai Tanjung Selatan dan Sungai Maluka. [21]
Dalam tinjauan secara umum, sebenarnya pada awalnya ketertarikan Raffles pada Borneo diawali dengan hasil penelitiannya di Borneo yang mempunyai kondisi yang subur. Selanjutnya Raffles memberikan laporan tentang adanya cabe rawit dan rotan yang sangat bagus yang terdapat di Banjarmasin dan juga memaparkan tentang besarnya jumlah wax (bahan baku lilin), sarang burung, tanduk rusa dan dagingnya, kulit dan kayu. Raffles sangat antusias menyampaikannya kepada Gubernur Jenderal Bengal yaitu Lord Minto. Hal ini dapat dipahami karena keberadaan Banjarmasin (diantaranya daerah Maluka) adalah merupakan salah satu daerah yang paling subur di dunia, dan juga keberadaannya sebagai penghasil emas dan intan yang produktif [22]
Kondisi penduduk di wilayah Konsesi Maluka pada masa Inggris dalam kurun waktu 1811-1816 tentu saja sangat berbeda dengan kondisi penduduk di daerah Maluka yang ada sekarang. Di daerah pantai seperti tanah laut, penduduknya melakukan hubungan dengan kota Banjarmasin melalui sungai Batutungku, Tabanio, dan Maluka. Mereka yang berasal dari daerah yang agak kedalam menggunakan sungai-sungai itu sebagai muara kemudian menyusuri pantai untuk mencapai Banjarmasin [23]. Kondisi wilayah Maluka yang berada di dataran rendah dengan sungai Maluka sebagai sarana transportasi lewat sungai menjadikan daerah Konsesi Maluka sebagai daerah yang ramai.
Mengenai keadaan topografis atau kependudukan menurut Bambang subiyakto (1999), pada awal Abad Ke-19 penduduk Tanah Laut hanya sedikit jumlahnya. Kemudian mereka sebagian besar terserang epidemi yang disebut dengan penyakit kuning. Sebagian besar penduduknya tewas, dan hanya tersisa sedikit yang masih hidup. Beberapa waktu kemudian penduduk daerah ini bertambah dengan adanya migrasi penduduk Martapura, disusul kemudian dengan penduduk yang berasal dari Hulu sungai. Penduduk Tanah Laut, diantaranya daerah Maluka semakin bertambah dengan adanya pendatang baru tersebut yang menetap, terutama dari Martapura dan Amuntai (Hulu Sungai) [24].
Dalam mengkaji keadaan sosial budaya di daerah Maluka dalam kurun waktu 1811-1816 harus ditinjau secara analisis. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan yang benar-benar terjadi pada masa tersebut, utamanya pada masa pemerintahan Residen Alexander Hare.
Daerah Konsesi Maluka pada awalnya merupakan daerah yang tak berpenghuni. Menurut M. Fajar A.L. (2004) sebelum etnis lain berdatangan, telah terlebih dahulu terdapat komunitas orang Cina yang berada di kampung parit,[25], atau tepatnya bermukim di kelurahan Angsau wilayah kecamatan Pelaihari, Tanah Laut. Orang orang Cina tersebut banyak berasal dari suku Hakka, Theo Chiu, Hokkian. Upaya untuk mendatangkan orang Cina tersebut adalah sehubungan dengan alasan mereka sendiri untuk mencari kehidupan yang lebih baik sehingga mereka memilih tinggal di tempat itu. Secara makro dapat dilihat dari tinjauan politis, yaitu hubungan persahabatan antara Kerajaan Banjar dan Kerajaan Tiongkok. Kerajaan Banjar mengirimkan surat kepada Raja Tiongkok agar dikirimkan orang-orang yang ahli untuk pembangunan di Kerajaan Banjar. Raja Tiongkok menyetujui dan mengirimkan 11 orang laki-laki yang mempunyai kepandaian khusus, yaitu ahli perkebunan, perdagangan, peternakan, pertanian, pertukangan, tumbuh-tumbuhan, perdagangan, perikanan, kerajinan dan obat-obatan. Atas perintah Raja Banjar pada saat itu yang berada di Martapura, kesebelas orang Cina tersebut dibawa ke desa Parit dengan dikawal oleh sebelas orang punggawa Keraton. [26]
Di desa Parit mereka bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sebagian dari mereka menggali parit dan menemukan emas, sehingga tempat penemuan tersebut dikenal dengan Parit Mas. Lama kelamaan akhirnya etnis Cina tersebut menetap dan kawin dengan penduduk setempat. Perkawinan etnis Cina Parit yang terbesar yaitu dengan orang-orang Bukit Meratus dan Kapuas Hulu. [27]
Penduduk Cina Parit hidup dengan cara bertani, beternak, berkebun dan mengerjakan kerajinan industri seperti tempayan, inangan, belanga, piring melawen, serta peludahan yang terbuat dari emas dan perak. Barang-barang tersebut di jual ke Jawa dan Singapura. Barang-barang kerajinan lainnya terbuat dari keramik dan batu-batuan seperti batu Giok dan Zamrud. Agama yang dianut oleh penduduk Cina Parit adalah campuran antara Konghucu dan Taoisme yang merupakan agama nenek moyang orang Tionghoa.[28]
Sementara itu di daerah Konsesi Maluka dan Tabanio telah terbentuk permukiman Cina yang pertama di daerah Tanah Laut, yaitu mulai terjadi tahun 1790-an. Alasan yang sama juga melatar belakangi pembentukan pemukiman Cina di daerah konsesi Maluka ini, yaitu atas permintaan Sultan Panembahan Batu, orang-orang Cina itu pada mulanya didatangkan sebanyak 13 orang kemudian ditambah lagi dengan 70 orang langsung dari Cina. Kemudian atas bantuan Hare didatangkan pula sekitar 70 orang ke daerah itu, pada dasawarsa kedua Abad Ke-19. Pada saat itu jumlah mereka lebih dari 150 orang, diangkatlah seorang kapten Cina disana berdasarkan keputusan Residen [29]
Pada perkembangan selanjutnya disamping mendatangkan orang Cina, didatangkan pula oleh Hare sekitar 4000 orang pekerja dari Jawa. Mereka terutama ditempatkan di daerah Konsesi Maluka dan Pulau Sari [30], Tanah Laut, untuk mengerjakan usahanya dibidang perkebunan dan yang bersedia bekerja sebagai kuli.
Adanya permintaan Hare pada Sultan Sulaiman untuk menyediakan pekerja di perkebunannya memang dipenuhi, akan tetapi Sultan hanya mampu menyediakan sangat sedikit pekerja dari Jawa. Selain sedikitnya jumlah penduduk, pada umumnya penduduk dari Banjarmasin dan Martapura enggan menerima pekerjaan sebagai kuli dan pada umumnya pula penduduk telah mempunyai pekerjaan masing-masing [31]
Dari data sejarah di atas dapat kita rekonstruksi kembali keadaan sosial budaya masyarakat di daerah Konsesi Maluka yang dicirikan oleh budaya Cina, walaupun tidak dapat dikesampingkan adanya peranan budaya lokal. Demikian pula datangnya orang Jawa mengindikasikan adanya pluralisme di daerah Konsesi Maluka, atau dapat dikatakan adanya beberapa etnis yang beragam mencirikan keadaan yang dinamis di daerah Konsesi Maluka. Sudah barang tentu budaya yang berkembang semakin beragam dan ada perpaduan dengan budaya lokal.
Hal ini dapat ditinjau dari aspek budaya bahwa dengan adanya ragam etnis yang ada di daerah konsesi Maluka yang didatangkan oleh Alexander Hare, maka memerlukan adanya komunikasi antar budaya[32] agar kehidupan sosial masyarakat yang ada dapat terlaksana dan berlangsung secara kontinu. Keberadaan atau analisis sosial tentang daerah konsesi Maluka belum ada atau tidak terdapat dalam beberapa arsip yang penulis gunakan, sehingga dalam pembahasan mengenai sosial budaya di daerah konsesi Maluka pada masa tersebut sangat terbatas untuk dipaparkan dalam tulisan ini.
Pada Perjanjian 1812 antara pemerintah Inggris dengan Sultan Banjar, pasal 5 isinya adalah bahwa Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah menyerahkan sepenuhnya kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah diantaranya adalah daerah Ibukota, benteng pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintang dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai dan Doosan, Baran Katia, Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah yang diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada saat itu kepada Inggris.
Dari beberapa daerah yang disebutkan tersebut tidak terdapat daerah Maluka. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953), daerah Maluka memang tidak dimasukkan karena daerah Maluka adalah merupakan tanah eigendom atau konsesi dan merupakan bagian dari daerah atau distrik Pulau Laut. [33] Hare secara sepihak mengklaim daerah tersebut milik pribadinya, walaupun dalam hal ini pengelolannya masih dibawah kendali pemerintah Inggris atau EIC. Misalnya saja dalam pengelolaan pertanian dan perdagangan cabai rawit maupun hak untuk penebangan kayu dan serta penambangan emas dan intan. Usaha lain yang dikembangkan adalah adanya usaha perkebunan dan pertanian lokal, membuat industri perahu maupun pembuatan atau penempaan mata uang. Hal yang menandai ciri khas dari kolonialisme Inggris di setiap wilayah yang dijajahnya atau merupakan koloninya.
Referensi :
- Arsip tentang perjanjian tersebut terdapat dalam Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635-1860, diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik indonesia (ANRI) Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat, Djakarta, 1965.
- C.P.F. Luhulima (ed). Bunga Rampai Sejarah Maluku. Lembaga Research Kebudayaan Nasional, LIPI terbitan tak berkala, Serie no. 1/9, Jakarta, 1971, hal 1-8.Bandingkan dengan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III, Depdikbud & Balai Pustaka, 1990, hal. 113, maupun Sejarah Daerah Maluku, Depdikbud, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Jakarta, 1976/1977, hal. 23.
- J. Keuning. Sejarah Ambon Sampai Akhir Abad ke-17, Kerjasama LIPI dengan Koninklijk Instituut voor Taal , Land en Volkenkunde (KITLV) dan Bhatara, Jakarta, 1973. hal. 77.
- Paramita.R. dan Abdoerachman. Peninggalan-Peninggalan yang Bertjiri Portugis di Amboina. Lembaga Research Kebudayaan Nasional, LIPI terbitan tak berkala, Serie no. 1/9,Jakarta, 1971, hal 1-8.
- R.Z. Leirissa. Politik Perdagangan VOC di Maluku. Lembaga Research Kebudayaan Nasional, LIPI terbitan tak berkala, Serie no. 1/9, Jakarta, 1971, hal 145..
- keadaan alam di kalimantan tenggara tersebut dijelaskan dalam Encyclopedie van Nederlanch Indie jilid I, dalam M. Idwar Saleh. Bandjarmasin, Selayang Pandang Bangkitnya Keradjaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi Dan Artinya Dalam Sedjarah Indonesia dalam Abad Ke 17. KPPK Balai Pendidikan Guru, Bandung. 1960, hal. 25-26, bandingkan dengan pembahasan mengenai keadaan geografis Kalimantan Selatan dalam M. Idwar Saleh. Banjarmasih, Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 1981/1982, hal. 7-8.
- Bambang Subiyakto. Pelayaran Sungai Di Kalimantan Tenggara, Tinjauan Historis Tentang Transportasi Air Abad Ke-19. Tesis pada program Pascasrjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1999. hal. 10.
- J. P. Moquette. Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka. Albrecht & Co and M. Nijhoff, Batavia, 1906, Hal 491. Artikel ini di kumpulkan oleh Van Ronkel dalam buku Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde pada tahun 1906.
- Sampai sekarang yang dinamakan dengan Sungai Bantal belum dapat diidentifikasi tepatnya ada di daerah mana. Daerah Bati-Bati masih ada sampai sekarang yaitu daerah kecamatan Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut., sedangkan Oedjong Bati dan taman Margarita sampai saat ini juga belum dapat diidentifikasi. Sedangkan Tabanio dalam arsip Belanda biasanya ditulis dengan Tobaniouw.
- Bambang Subiyakto. Perompakan : Sebuah Realitas Historis Abad Ke-19 di Kal-Sel, dalam buku Kenangan Purna Tugas Prof. M.P. Lambut, Kerjasama LPKPK, Forum 24, Pemko dan DPRD kota Banjarmasin, Banjarmasin, 2003, hal. 93
- Bernet Bronson. Lost Kingdom Mislaid, dalam Bulletin Field Museum Of Natural History. Volume 46/4, tahun 1975, hal. 9.
- Teori Miksic dalam Karel W Butzer. Environment and Archeology : An Introduction to plestocene Geography. Chicago : Aldine Publishing Company, 1954, hal. 12.
- Graham Irwin. Ninetenth–Century Borneo, A Study in Diplomatic Rivalry,.Malaya, S.Gravenhage-Martinus nijhoff, 1955, hal.16, bandingkan dengan pemaparan Syafii dalam tulisannya Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles, Mutiara, Jakarta, 1982, hal. 16-20. Keberadaan kalimantan sebagai penghasil intan juga dijelaskan oleh Tjilik Riwut dalam Kalimantan Memanggil, Endang, djakarta, 1958, hal 302-303.
- Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara komponen-komponen komunikasi juga berkenaan dengan komunikasi antar budaya. Namun apa yang terutama yang menandai komunikasi antar budaya adalah bahwa sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Ciri ini saja menandai untuk mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik dan harus memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi. Komunikasi antar budaya dapat dilihat dalam persfektif model. Hal ini dikemukakan oleh Larry A. Samovar & Richard E. Porter. Interculturac Communication : A Reader, Dalam Deddy Mulyana & Jalaluddin Rahmat (ed). Komunikasi Antar Budaya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, hal. 21.
- Amir Hasan Kiai Bondan. Suluh Sedjarah Kalimantan, M.A.T. Pertjetakan Fadjar, 1953, hal. 32.