Rabu, 10 November 2010

PERBUDAKAN DI DAERAH KONSESI MALUKA : DAMPAK KOLUSI BIROKRAT INGGRIS DI KALIMANTAN TENGGARA TAHUN 1811-1816


1. Pendahuluan

Masalah penjajahan, birokrasi serta eksploitasi tenaga kerja bila dipandang dalam perspektif Sejarah, merupakan suatu mata-rantai proses yang berkesinambungan. Oleh karena itu, dalam melihat konteks penjajahan dalam kurun waktu tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar budaya politik dan birokrasi pemerintahnya. Penjajahan juga akhirnya mengakibatkan banyak eksploitasi tenaga kerja dan perbudakan di nusantara pada abad 18 dan 19.
Secara khusus, masalah perbudakan memang masih cukup langka dibahas dalam historiografi di Indonesia. Padahal fenomena ini terjadi selama penjajahan kolonial Belanda dan Inggris di nusantara. Satu karya fenomenal tentang perbudakan adalah tulisan Anwar Thosibo, Historiografi Perbudakan, Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX, terbitan 2002. Kasus perbudakan ini sendiri sebenarnya tak hanya terjadi di Sulawesi Selatan. Di belahan bumi nusantara lainnya, perbudakan (slavery) juga terjadi. Khusus pada masa pemerintahan Inggris 1811-1816, ada kebijakan perbudakan dilarang. Tapi, dalam kenyataannya di beberapa daerah perbudakan tetap dilegalkan, ’dibungkus’ dengan dalih pengadaan tenaga kerja.
Salah satu kasusnya adalah perbudakan di daerah konsesi Maluka pada masa pemerintahan Inggris di Kalimantan Tenggara tahun 1811-1816. Maluka memiliki toponim hampir sama dengan Malaka dan Maluku. Maluka adalah wilayah Kalimantan Tenggara atau Kalimantan Selatan saat ini. Daerah yang secara administratif berada di desa Maluka, Kecamatan Pulau Sari Kabupaten Tanah Laut ini menyimpan sejarah panjang selama masa pendudukan Inggris dengan East India Company (EIC)-nya di Indonesia, khususnya di tanah Banjar. Nama Maluka sering disebut dalam dalam sumber-sumber Kolonial biasanya ditulis dengan sebutan Maloeka atau Molukko.
Misalnya di dalam Tractaat 13 Agustus 1787 dan Alteratie en Ampliatie Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin Van 1 Januarij 1817 yang menyebut daerah Maluka dengan Molucco. Begitupun dengan istilah yang terdapat di Contract Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826, Maluka disebut Molukko. Sementara itu, dalam Ampliate En Verklaring Op Het Contract Met Den Sultan Van Bandjarmasin 18 Maret 1845 ditulis Maloekoe. Sama dengan yang digunakan penulis sejarah Belanda, J.P. Moquette (1906) pada artikelnya Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka, yang terdapat dalam buku Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde).
Penyediaan tenaga kerja di Maluka menjadi perbudakan terselubung. Untuk melihat konteks perbudakan di daerah Maluka, memang ada konsep yang penulis gunakan. Dari segi politik dan ekonomi, konsep perbudakan atau slavery mempunyai konotasi eksploitasi tenaga manusia. Sedangkan menurut kamus Inggris-Indonesia, slavery perarti perbudakan atau bekerja keras. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia budak berarti hamba sahaya atau anak anak. Dengan kata lain slavery berarti penindasan atau sama pengertiannya dengan penghambaan dan ketergantungan.
Sementara konsep kolusi yang dipakai penulis dalam menjelaskan kasus perbudakan ini menggunakan konsep Lopa (1996). Menurutnya, dalam bahasa Inggris, collusion (kolusi) berarti persekongkolan. Persekongkolan untuk terjadinya penipuan (manipulasi), penggelapan, pemutarbalikan kebenaran, dan sebagainya. Di Lexicon
Webster International Dictionary, halaman 198, dijelaskan arti collusion, antara lain, apa saja yang dilakukan dua orang atau lebih secara tertutup (diam-diam), asalkan perbuatan itu bertujuan menciptakan hal yang tidak terpuji, seperti kecurangan dan penipuan, dinamakan kolusi. Inilah konsep kolusi yang dilakukan Residen Kalimantan Tenggara, Alexander Hare dengan Gubernur Jenderal East India Company, Thomas Stanford Raffles sebagai penguasa tertinggi kolonial Inggris di nusantara.
Raffles, Gubernur Jenderal Inggris, 1811-1816
Kemudian, untuk penggunaan kategori perbudakan pada masa pengembangan daerah Maluka oleh Alexander Hare penulis menggunakan kategori Watson yang di gunakan Anwar Thosibo (2002), budak didefenisikan sebagai hak milik atau pekerja wajib. Ini sangat tepat menggambarkan status di daerah konsesi Maluka dalam kategori budak.
Perbudakan dengan dalih penyediaan tenaga kerja di daerah konsesi Maluka berawal dari Perjanjian atau Treaty 1812 antara pemerintah Inggris dengan Sultan Banjar, Sulaiman Alamah Tahmidullah. Pada pasal 5 isinya adalah bahwa Sultan menyerahkan sepenuhnya kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah diantaranya adalah daerah Ibukota, benteng pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintang dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai, Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah konsesi yang diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada saat itu kepada Inggris.
Dari beberapa daerah yang disebutkan dalam perjanjian, memang tidak menyebut secara langsung daerah Maluka. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953), daerah Maluka merupakan tanah eigendom atau konsesi dan merupakan bagian dari daerah atau distrik Pulau Laut.
Hare secara sepihak mengklaim daerah tersebut milik pribadinya, walaupun dalam hal ini pengelolannya masih dibawah kendali pemerintah Inggris atau EIC. Misalnya saja dalam pengelolaan pertanian dan perdagangan cabai rawit maupun hak untuk penebangan kayu dan serta penambangan emas dan intan. Usaha lain yang dikembangkan adalah adanya usaha perkebunan dan pertanian lokal, membuat industri perahu maupun pembuatan atau penempaan mata uang. Hal yang menandai ciri khas dari kolonialisme Inggris di setiap wilayah yang dijajahnya atau merupakan koloninya.


2. Tenaga Kerja Paksa Menjadi Budak di Maluka
Kondisi wilayah Maluka yang berada di dataran rendah dengan sungai Maluka sebagai sarana transportasi lewat sungai menjadikan daerah Konsesi Maluka sebagai daerah yang ramai. Daerah Konsesi Maluka pada awalnya merupakan daerah yang tak berpenghuni. Menurut M. Fajar A.L. (2004) sebelum etnis lain berdatangan, telah terlebih dahulu terdapat komunitas orang Cina yang berada di kampung parit, atau tepatnya bermukim di kelurahan Angsau wilayah kecamatan Pelaihari, Tanah Laut. Secara makro dapat dilihat dari tinjauan politis, yaitu hubungan persahabatan antara Kerajaan Banjar dan Kerajaan Tiongkok. Kerajaan Banjar mengirimkan surat kepada Raja Tiongkok agar dikirimkan orang-orang yang ahli untuk pembangunan di Kerajaan Banjar. Raja Tiongkok menyetujui dan mengirimkan 11 orang laki-laki yang mempunyai kepandaian khusus, yaitu ahli perkebunan, perdagangan, peternakan, pertanian, pertukangan, perdagangan, perikanan, kerajinan dan obat-obatan.
Sementara itu di daerah Konsesi Maluka dan Tabanio telah terbentuk permukiman Cina yang pertama di daerah Tanah Laut, yaitu mulai terjadi tahun 1790-an. Alasan yang sama juga melatar belakangi pembentukan pemukiman Cina di daerah konsesi Maluka ini, yaitu atas permintaan Sultan Panembahan Batu, orang-orang Cina itu pada mulanya didatangkan sebanyak 13 orang kemudian ditambah lagi dengan 70 orang langsung dari Cina.
Kemudian atas bantuan Hare didatangkan pula sekitar 70 orang ke daerah itu, pada dasawarsa kedua Abad Ke-19. Pada saat itu jumlah mereka lebih dari 150 orang, diangkatlah seorang kapten Cina disana berdasarkan keputusan Residen. Pada perkembangan selanjutnya disamping mendatangkan orang Cina, didatangkan pula oleh Hare sekitar 4000 orang pekerja dari Jawa. Mereka terutama ditempatkan di daerah Konsesi Maluka dan Pulau Sari, Tanah Laut, untuk mengerjakan usahanya dibidang perkebunan dan yang bersedia bekerja sebagai kuli.
Sebagai residen dan penguasa di Kalimantan Tenggara, rencana-rencana Hare di Maluka tak mengalami hambatan berarti. Dengan modalnya, Hare mampu membeli komoditas apa pun di Borneo. Apalagi hanya menyediakan kuli atau buruh. Daerah konsesi Maluka yang luasnya sekitar 1400 mil persegi tersebut, akhirnya digarap oleh pekerja-pekerja paksa yang berasal dari desa-desa di pantai utara Jawa.
Hal ini dilakukan Hare karena jumlah kuli yang disediakan oleh Sultan tidak mencukupi keinginannya. Apalagi Kesultanan Banjar tidak memiliki kelebihan tenaga kerja laki-laki yang bisa membantu di daerah Maluka. Selain sedikitnya jumlah penduduk, pada umumnya penduduk dari Banjarmasin dan Martapura enggan menerima pekerjaan sebagai kuli dan pada umumnya pula penduduk telah mempunyai pekerjaan masing-masing.
Karena itulah, dengan kekuasaannya yang luas dan koneksinya, Hare segera berupaya mendapatkan tenaga kerja yang cukup, dengan mendatangkan dari luar pulau. Berkat koneksinya yang luas dalam birokrasi pemerintahan Inggris, Hare kembali ke Jawa pada tahun 1812 untuk berunding dengan Raffles. ‘Kolusi’ dalam sistem pemerintahan terjadi. Penyediaan tenaga kerja kemudian disetujui oleh Gubernur Jenderal Raffles. Padahal belum pernah terjadi sebelumnya pemerintah Inggris menyediakan tenaga kerja untuk daerah manapun, selain di Maluka.
Untuk mengumpulkan tenaga kerja yang besar, muncul pemikiran Hare dan Raffles. Mereka mengirimkan sejumlah surat edaran kepada Keresidenan-Keresidenan Inggris di Jawa untuk merekrut sejumlah tenaga buruh untuk dipekerjakan di daerah koloni Inggris yang baru di Banjarmasin.
Surat edaran pertama tertanggal 10 Maret 1813, isinya adalah memerintahkan kepada seluruh residen untuk mendata penduduk di daerahnya. Bila ada penduduk pendatang, bukan orang Jawa lalu berbadan sehat dan pernah bekerja di militer agar segera didata dan dikirim ke Banjarmasin untuk bekerja di perkebunan Hare di Maluka. Kemungkinan para pekerja ini akan mulai bekerja di Banjarmasin ketika musim hujan tiba. Para residen juga diminta untuk menggunakan pengaruhnya melalui bupati bupati Jawa untuk rencana tersebut. Tidak ada paksaan yang dipergunakan dalam pelaksanaan perintah ini. Sementara, para pekerja yang prospektif diyakinkan bahwa mereka akan dilindungi oleh Sultan Banjarmasin dan akan diberikan tanah sendiri untuk digarap.
Sayang, surat edaran pertama tidak berhasil dan tak ada yang berminat dengan rencana yang berbasis sukarela ini. Kemudian menyusul dibagikan surat edaran berikutnya tertanggal 31 Mei 1813, yang bersifat memaksa. Isinya adalah bagi laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap tetapi mampu bekerja untuk negara akan dikirim ke Banjarmasin. Perintah baru ini berlaku bagi orang biasa, baik Jawa maupun luar Jawa. Tidak seperti sebelumnya yang hanya berlaku untuk eks tentara yang pernah bertugas di militer. Residen juga akan merekrut penduduk yang akan dipekerjakan sebagai polisi pribumi.
Setelah keluar surat edaran ini, akhirnya secara bersamaan, sekitar 3.200 orang pekerja diangkut ke Banjarmasin. Mereka janjinya akan dibayar pemerintah 25 Rupee untuk setiap orang untuk bekerja di ladang padi dan cabai rawit di Maluka. Padahal, sebagian mereka berangkat karena paksaan dan akhirnya tak dibayar. Banyak para pekerja tersebut dianggap sebagai pengembara atau gelandangan, yang diberangkatkan atas rekomendasi bupati lokal atau aparat kepolisian Jawa.
Kondisi di Jawa saat itu memang memiliki cukup banyak budak yang bisa dijadikan pekerja. Pada masa Raffles, Batavia sendiri malah menjadi pelabuhan internasional perdagangan budak pada masa itu atau menurut istilah Markus Vink (2003) sebagai “Central Rendezvous” yang kemudian dijual ke seluruh tempat di Asia hingga ke Srilangka dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Sementara itu sebagian budak-budak lainnya dipekerjakan di tanah-tanah pertanian dan perkebunan di Pulau Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai gambaran, tahun 1814, Raffles (2008) melakukan sensus terhadap jumlah budak di Pulau Jawa. Jumlahnya cukup banyak dan tersebar di berbagai kota. Di Batavia terdapat budak sejumlah 18.972 jiwa. Lalu, di Semarang terdapat budak 4.488 jiwa. Selanjutnya, di Surabaya terdapat budak 3.628 jiwa. Totalnya mencapai 27.142 jiwa.
Ada tiga kelompok besar pekerja yang dijadikan budak, yang dikirim ke Banjarmasin. Pertama, para penjahat dan narapidana yang masa hukumannya berbeda, dari beberapa bulan sampai hukuman seumur hidup. Selanjutnya para gelandangan, pengembara dan orang yang tak berguna, dimana sebagian dari mereka mendapatkan hukuman buangan yang dilaksanakan dengan pengiriman mereka untuk bekerja di perkebunan Hare tersebut. Terakhir, adalah orang-orang yang diberangkatkan paksa walaupun tak bersalah. Selain laki laki, juga banyak kaum wanita yang dibujuk naik ke kapal Hare dan bahkan ke kapal meriam milik pemerintah Inggris. Janjinya, untuk dikawinkan atau dinikahi oleh orang Inggris di Banjarmasin.
Dari versi lainnya dari beberapa sumber sejarah, dikatakan bahwa suatu hal yang mencoreng nama baik Raffles, yaitu berhubungan dengan pengangkutan tenaga kerja secara paksa dari Jawa ke Banjarmasin. Kejadian ini dianggap oleh para petinggi Inggris lainnya sebagai Banjarmasin Enormity atau tindakan keji di Banjarmasin. karena Alexander Hare adalah sahabat Raffles, dan atas persetujuan Raffles sendiri, Hare dianggap ’menangkap’ 3000 orang Jawa untuk bekerja di Maluka. Hare berdalih itu hanya tenaga kerja biasa. Padahal itu adalah tenaga kerja paksa yang diangkut dengan kapal kecil sehingga penuh sesak.
Dalam literatur lain, anggapannya juga terjadi kolusi antara Hare dan Raffles sehubungan dengan pengadaan tenaga kerja di Maluka. Kebijakan Raffles memang cukup liberal. Tindakannya tak hanya melindungi rakyat kecil terhadap tindakan yang sewenang-wenang, juga mempelopori pemberantasan perbudakan dan larangan perdagangan budak. Akan tetapi dalam hal ini Raffles tidak konsekuen. Ternyata atas permintaan dari Alexander Hare saja sebagai pemilik tanah luas (tanah konsesi) Maluka yang sangat memerlukan tenaga kerja, Raffles tak segan-segannya mengirimkan beberapa ribu orang Jawa yang dikumpulkannya dengan paksa. Dan ternyata nasib pekerja yang dikirimkannya dari 3000 sampai 5000 orang hanya tinggal 600 atau 700 orang saja.
Walaupun Hare mempunyai kemampuan untuk mengatasi segala masalah dengan kekuasaanya, tetapi tak mempunyai pengalaman dalam hal bercocok tanam dan kurang mampu dalam hal administrasi. karena kurangnya perhatian, kondisi pekerja sangat menyedihkan. Sandang dan pangan tidak mencukupi. Dalam laporan keuangan pembiayaan pemukiman pekerja di Banjarmasin di daerah konsesi Maluka mulai 1812-1816 memperlihatkan lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan.
Kondisi perkebunan hare di Maluka tak mengalami perkembangan yang berarti. Pasalnya, banyak pekerja yang ditarik untuk mengerjakan gedung keresidenan yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Demikian juga dengan usaha penambangan emas dan intan gagal sebelum mendapatkan laba. Sultan Sulaiman pun mengeluhkan kondisi anggota para pekerja (rowdies) yang jadi budak di perkebunan cabe rawit Hare, sangat menderita dan mengenaskan karena kekurangan sandang atau makanan.
Sebagai gambaran tentang eksploitasi dan penyiksaan tenaga kerja yang terjadi di Maluka tersebut, terdapat dalam surat James Simpson, seorang pengacara kepada William Boggie, Residen Semarang yang meneliti peristiwa ini. Dari hampir 3167 orang yang berasal dari beberapa daerah jajahan diculik dan dijadikan tenaga kerja paksa, sebelum Mei 1813, diperlakukan tak manusiawi. Rinciannya 453 orang meninggal dunia, 1110 orang melarikan diri ke hutan-hutan tanpa membawa perbekalan yang cukup dan harus mempertahankan diri dari serangan binatang buas, serta 1075 orang dikembalikan ke Jawa oleh komisaris pemerintah. Sisanya, 529 orang tetap di Banjarmasin.
Menurut Moquette (1906), setelah Banjarmasin yang awalnya di bawah pemerintahan Daendels (Belanda) dan kemudian direbut oleh Inggris, lalu dikembalikan lagi pada pemerintahan Daendels, 1 Januari 1817.
Mengenai nasib budak di daerah perkebunan di daerah konsesi Maluka, dibentuk badan komisi yang memeriksa budak yang bekerja paksa di daerah tersebut. Setelah semua pemeriksaan selesai, mereka dikembalikan ke daerah asalnya di Jawa. Mereka terdiri 709 laki-laki, 337 perempuan dan 58 orang anak-anak, kecuali yang belum habis tempo hukumannya. Hal ini berbeda dengan ringkasan laporan Hare tentang tahanan dan pendatang di Banjarmasin, 31 Juli tahun 1816 yang disalin sekretaris C. Assey, yang ditujukan kepada Kantor Akuntan di Batavia. Hare menyebutkan jumlah pekerja di Maluka, laki laki 907 orang, perempuan 451 serta anak anak ada 123 orang.
Eksploitasi pekerja tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai perbudakan karena menurut Anwar Thosibo (2002), ada kemungkinan bahwa perdagangan budak pada dekade pertama Abad Ke-19 terus berlangsung ketika melemahnya otoritas pusat. Setiap koloni Belanda harus diserahkan kepada Inggris pada tahun 1811, satu tahun kemudian Raffles selaku gubernur mengeluarkan larangan perbudakan di wilayah kekuasaannya.
  
Mata Uang Maluka




Sedangkan Morga (1609) mengemukakan bahwa budak-budak merupakan modal dan kekayaan utama penduduk pribumi di kepulauan ini, karena banyak manfaatnya karena diperlukan untuk menggarap ladang pertanian mereka. Maka budak-budak pun dijual, ditukar dan diperdagangkan sama seperti barang dagangan lainnya, dari kampung ke kampung, dari provinsi ke provinsi, dan tentu saja dari pulau ke pulau.
Dari tindakan Raffles dan Hare di daerah perkebunan Maluka, mengindikasikan masih adanya perbudakan yang dijadikan kamuflase bahwa mereka hanya sebagai pekerja biasa dengan mendapatkan upah. Adanya pengumuman Raffles, 31 Mei 1813 yang menggambarkan bahwa perekruten tenaga kerja paksa adalah realisasi perundang-undangan yang dibuat oleh parlemen adalah upaya Raffles untuk menutupi tersebar luasnya peristiwa ini walaupun pada akhirnya terbongkar dan diketahui publik.
3. Penutup
Status atau keberadaan daerah konsesi Maluka sebagai bagian dari Kerajaan Inggris sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi di Eropa. Perang koalisi Eropa terhadap Perancis berakhir pada tahun 1914 setelah Napoleon Bonaparte dapat dikalahkan dalam pertempuran di Leipzig dan kemudian tertangkap, lalu diasingkan ke pulau Elba. Negara-negara koalisi kemudian mengadakan Kongres Wina untuk memulihkan kembali Eropa seperti batas sebelumnya. Kongres yang dilakukan pada tahun 1814 melalui konvensi London (perjanjian London) atau Convention of London. Perjanjian ini dilaksanakan antara Inggris dengan Raja Willem V.
Isi dari Convention of London antara lain adalah Belanda menerima tanah jajahannya kembali yang diserahkan kepada Inggris dalam Penyerahan Tuntang, selanjutnya Inggris memperoleh Tanjung Harapan dan Sailan dari Belanda sebagai upah mempertahankan daerah itu dari kemungkinan serbuan Perancis. Inggris kemudian mengembalikan semua daerah kekuasaan Belanda yang pernah dikuasai oleh Inggris.
Perjanjian antara Belanda dan Inggris memutuskan bahwa Belanda diperbolehkan kembali menduduki bekas kekuasaannya dan dengan perjanjian ini EIC (Inggris) terpaksa melepaskan Batavia pada tahun 1816. Pada tahun tersebut juga pemerintah Belanda dibawah pimpinan Arnand van Bukholz dengan tentaranya datang ke Banjarmasin. Hal ini dilakukan setelah pemerintah Inggris terlebuh dahulu meninggalkan Kerajaan Banjarmasin lalu bendera kerajaan Banjar. Belanda kembali menancapkan kuku penjajahannya dengan membuat perjanjian dengan Sultan.

Referensi :

- Anwar Thosibo. Historiografi Perbudakan, Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX. Indonesiatera, Magelang, 2002,hal. 132. Juga terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI), W.J.S. Poerwadarminto, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 157. Senada dengan pengertian budak menurut Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj. Sori Siregar, dkk, LP3ES, 2004, hal. 4.
- Baharuddin Lopa, Kolusi, Majalah Berita Mingguan GATRA, 20 Juli 1996 (No.36/II) Rubrik : Kolom.
- Archift Van Het Den Sulthan Van Bandjarmasin Oktober 1812, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta, 1965. Juga terdapat dalam artikel J. P. Moquette. Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka. Albrecht & Co and M. Nijhoff, Batavia, 1906, Hal 491. Artikel ini di kumpulkan oleh Van Ronkel dalam buku Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde, tahun 1906.
- Amir Hasan K Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, MAT. Pertjetakan Fadjar, 1953, hal. 32.
- Graham Irwin. Ninetenth–Century Borneo, A Study in Diplomatic Rivalr,.Malaya, S. Gravenhage-Martinus nijhoff, 1955, hal.16,
- Moch. Fajar Amrullah. Proses Datangnya etnis china di Banjarmasin Kurun Waktu 1970-1990 (Studi Kasus Di Kelurahan Kampung Melayu Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin), Skripsi pada PSP Sejarah FKIP Unlam, Banjarmasin, 2004, hal. 52-54.
- Bambang Subiyakto. Pelayaran Sungai di Kalimantan Tenggara, Tinjauan Historis Tentang Transportasi Air Abad Ke-19, Tesis program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 1999, hal. 29.
Sjafii. Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles, Mutiara, Jakarta, 1982, hal. 20.
- Artikel De Banjarmasinsche Aeschuwelijkheid serta Bijdragen 1-4 yang terdapat dalam Bijragen Taal land En Volkenkunde Van Nederland Indie, Frederik Muller, Batavia, 1860, hal 1-4.
- Anonim. Sedjarah Indonesia Djilid II, KPPK Semarang, 1953, hal. 109.
- Dinas Museum dan Sejarah Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta (1750-1945), 1993. hal. 45.
G.L.Tichelman. Blanken Op Borneo, A.J.G. Strengholt, Amsterdam, 1949. hal 71.



Mata Uang Maluka yang diperdagangkan di Pasar Gelap oleh kolektor










To Be Continued...........................




Tidak ada komentar:

Posting Komentar