Rabu, 10 November 2010

Antara Maluka dan Maluku (Ambon)

Nama Maluka sering disebut dalam dalam sumber-sumber Kolonial[1] biasanya ditulis dengan sebutan Maloeka atau Molukko,. dapat ditemukan misalnya di dalam Tractaat 13 Agustus 1787 dan Alteratie en Ampliatie Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin Van 1 Januarij 1817 yang menyebut daerah Maluka dengan Molucco. Begitupun dengan istilah yang terdapat di dalam Contract Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826 Maluka disebut dengan Molukko.
Sementara itu di dalam Ampliate En Verklaring Op Het Contract Met Den Sultan Van Bandjarmasin 18 Maret 1845 disebut atau ditulis dengan Maloekoe, sama dengan yang digunakan J.P. Moquette.dalam artikelnya Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka, yang terdapat dalam Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde (1906). J.P. Moquette (1906) dalam artikelnya itu menuliskan :

“ Uit dit besluit zien we eerstens dat Alexander Hare de landstreek, door hem geoccupeerd onder den naam Maloeka (elder moloeka of Molukko genoemd), werkeljk in vollen eigendom verkreeg, en wel in October 1812, doch ten tweede, dat de aanbieding hem reeds 4 jaren te voren dus ±1808 gedaan werd………”
(Yang pertama tanpa oleh kami dalam keputusan itu adalah daerah Alexander Hare melalui kesibukannya di bawah nama Maloeka (sebelumnya disebut Moloeka dari nama Malukko) sungguh lalulintas hak pengelolahan hak milik kami yang telah berjalan baik pada Oktober 1812, tetapi di tahun kedua ia sudah memberikan kemajuan selama 4 tahun, jadi mulai dilakukan kurang lebih tahun 1808……..)

Hal ini perlu dikemukakan karena seringkali generasi baru yang meneliti sumber-sumber kolonial sering dikacaukan dengan kata Maluku atau bahkan Malaka yang ditulis persis atau bahkan sama. Sebagai perbandingan dapat dilihat dari Penyebutan daerah Maluku yang dapat di ikuti dari penjelasan berikut ini . Ditinjau dari kerangka kronologis tentang asal kata nama Maluku [3]. Pertama, Penamaan Maloko yang terdapat dalam Sejarah Ternate, Kronik Kerajaan Bacan, Hikayat Tanah Hitu. Kedua, dari sumber asing seperti karya Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indian jilid II menyebutkan kata Maluku berasal dari kata Kolano Moloko[4].

Selain itu sumber Cina mengatakan adanya daerah Mi-li-ku, dan berita Portugis (Gabriel Robel) mengatakan imformacao das cousas sobre as Molucas [5]. Dilain pihak pada masa VOC disebut dengan daerah Molukken, misalnya dalam kata Gouvernement de Molukken.[6] yang pada Abad Ke-19 tertulis dalam surat-surat Belanda.

Pemberian nama Molukken ini menurut Luhulima (1971), ada tiga sebab yaitu pertama, kecenderungan orang-orang Eropa sejak awal hubungan mereka dengan daerah rempah-rempah, untuk menyamakan daerah itu dengan kerajaan Ternate. Kedua, adanya gelar kolano moloko yang dipakai oleh raja Ternate yang menandakan betapa luasnya kerajaan Ternate (wilayahnya), misalnya daerah Banda yang dimasukkan dalam pengertian Maluku karena daerah Banda adalah penghasil rempah-rempah. Sebab yang ketiga adalah adanya persfektif monopoli VOC semua daerah yang menghasilkan pala, lada atau cengkeh merupakan satu kesatuan dengan daerah lainnya yang menghasilkan rempah-rempah pula, yang masuk dalam Gouverneur der Molukken [7]. Jadi nama Maluku sesuai dengan sumber sejarahnya disebut dengan Molucas atau Miliku dan Moloko, pada Abad Ke-10. [8]

Sampai sekarang belum pernah ada tulisan khusus yang membahas tentang adanya kemiripan toponim atau kemiripan nama tersebut. Karena itu penulis berusaha menginterpretasikan sendiri berdasarkan bahan atau data sejarah yang disandarkan pada fakta sejarah yang ada, penulis mengajukan hipotesa, yaitu bahwa yang dimasukkan dalam pengertian Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah (semua daerah yang menghasilkan rempah-rempah, diantaranya lada), selanjutnya yaitu adanya persfektif monopoli VOC bahwa semua daerah yang menghasilkan pala, lada atau cengkeh merupakan satu kesatuan dengan daerah lainnya yang menghasilkan rempah-rempah pula.


Nama Maluka yang timbul belakangan, yaitu tahun 1787 pada masa kekuasaan VOC, adalah merupakan penyebutan dari bangsa Eropa, yang diperkirakan berasal dari kata Maluku. Daerah Maluka sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Raffles bahwa pada awalnya memang adalah daerah penghasil lada atau rempah-rempah. [9]

3.2. Letak, Luas dan Kondisi Wilayah
Menurut Idwar Saleh (1960), pada umumnya sifat-sifat sungai di Kalimantan adalah mempunyai perbedaan-perbedaan yang tinggi pada permukaan air pada sepanjang alirannya, membangun gosong-gosong pasir dan banjir serta pembentukan rawa-rawa sepanjang tebing menuju ke muara. Pantainya penuh rimba kayu bakau dan pohon nipah yang kemudian disambung dengan hutan-hutan yang lebat kepedalaman yang amat sukar dimasuki. Karena letaknya pada daerah tropis dan pada garis equator, iklimnya yang lembab dan hujan yang turun banyak sekali [10]. Adanya keadaan alam ini pulalah yang menjadikan daerah Kalimantan Tenggara dan khususnya daerah Maluka sebelum dibuka oleh Inggris dan dijadikan daerah konsesi, seakan-akan tidak pernah tersentuh.

Dipertegas oleh Idwar Saleh (1960) [11] bahwa akibat keadaan alam, lebatnya hutan rimba, perhubungan sungailah yang menjadi faktor terpenting yang menjadi lalu lintas perdagangan [12], penanaman kekuasaan, pemasukan kebudayaan dari luar oleh golongan emigran yang merupakan penduduk dari daerah di sekitarnya atau dari pedagang asing.

Luas wilayah Konsesi Maluka dari dahulu apabila dibandingkan dengan sekarang dalam tinjauan temporal memperlihatkan adanya perbedaan dan perubahan dilihat dari beberapa dasawarsa maupun kurun waktu (spasial). Daerah Konsesi Maluka dulunya sangat luas apabila dibandingkan dengan daerah Maluka yang ada sekarang.

Keberadaan daerah Maluka yang luas dan strategis tersebut adalah merupakan ciri khas tersendiri dari daerah Maluka. Sehingga tidak salah apabila J.P.Moquette (1906) mengemukakan adanya kesan optimisme dari Alexander Hare tentang daerah tersebut[13].

Pada tahun 1812 Alexander Hare diangkat menjadi residen di Banjarmasin. Pada awalnya yaitu tahun 1808 Hare yang berkedudukan sebagai pengusaha partikulir sudah mencari daerah subur dan strategis dan kemudian menemukan daerah Maluka, Hare lalu meminta daerah tersebut kepada sultan Banjar dan diberikan serta merta dan statusnya menjadi daerah konsesi. Hare kemudian menetap di Banjarmasin sampai tahun 1812 pada saat dia diangkat menjadi Residen dan mulai menjalankan pemerintahannya pada tahun tersebut. Perlu dipahami bahwa pada saat itu Hare mulai memikirkan keinginan sendiri.

Pada dasarnya Hare merasa senang mengerjakan kontrak dengan pemerintah Inggris (EIC) maupun Sultan Banjar. Kepuasan yang besar dirasakan Hare atas adanya pengakuan dari Raffles, maupun adanya kepercayaan terhadapnya. Pada tahun 1812. setelah adanya perjanjian dengan Sultan Sulaiman, maka Sultan memberikan tanah konsesi itu secara formal kepada Hare serta melakukan pemerintahan atas daerah yang diberikan kepada Inggris yang terdapat dalam perjanjian atau Treaty 1812.

Dalam artikel Moquette (1906) daerah Konsesi Maluka digambarkan sebagai daerah yang membujur atau membentang di utara tepatnya pertengahan Sungai Martapura sampai sumber atau asal sungai tersebut[14] lurus ke Selatan sampai ke laut. Selanjutnya dari perbatasan laut sampai ke seberang benteng Tatas dan Sungai Martapura, lurus ke utara sampai ½ sungai bagian sungai Bantal, termasuk daerah Bati-Bati dan pantainya serta tanah Oedjong Bati dan wilayah taman Margarita [15]. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa daerah konsesi Maluka sebenarnya memang sangat luas.

Daerah Alexander Hare tersebut yang semua wilayahnya dinamakan Maloeka [16] adalah merupakan tanah dalam hak pengelolahan atau hak milik sendiri (eigendom atau konsesi), akan tetapi mengatasnamakan EIC. Semua usaha perekonomian Hare yang dikembangkan di daerah tersebut telah berjalan dengan baik sampai bulan Oktober 1812. Daerah yang dibuka atau dikelola mulai tahun 1808 tersebut sudah memberikan kemajuan dan hasil yang bagus setelah berlangsung selama 4 tahun.

Bambang Subiyakto (2003) selanjutnya menambahkan bahwa wilayah Konsesi Maluka merupakan bagian dari daerah perairan di Kalimantan Selatan yang cukup ramai bagi pelayaran aktivitas sungai, sekaligus juga pelayaran laut. Perairan pantai terdapat pada daerah Tanah Laut sampai Pulau Laut. Panjang perairan garis pantai itu dimulai dari daerah Maluka sampai ke daerah Pasir. Beberapa sungai penting bermuara di sepanjang pantai itu adalah Maluka, Kurau, Tambangan, Tobanio [17], berada di daerah (distrik) Tanah Laut, serta Batulicin, Pagatan, dan Pasir berada di daerah (distrik) Kotabaru [18].

Dalam hal ini dapat diterapkan teori dari Bernett Bronson yang berpendapat bahwa pola permukiman dan aktivitas perdagangan dapat terbentuk oleh aliran sungai. Teori Bronson tersebut dikenal dengan teori dendritik yang dibuat dengan model jangkauan wilayah Asia Tenggara. Daerah konsesi Maluka sebagai daerah di pinggir sungai dan bagian dari daerah aliran sungai Maluka sangat tepat menjadi daerah perdagangan, pertanian dan perkebunan dan ini diperhitungkan dengan matang oleh Inggris untuk menempatkan Maluka sebagai daerah pengembangan usahanya.[19]

Model serupa juga telah diajukan oleh Miksic yang berasumsi bahwa faktor kondisi setempat seperti jalur komunikasi darat maupun sungai, kegiatan lalu lintas yang terbentuk dapat diperhitungkan sebagai sumberdaya yang menentukan pola pemukiman dan pola pertanian dan perdagangan. Dari sini dapat kita lihat bahwa dukungan faktor geografis di daerah Maluka yang strategis dapat berpengaruh pada terbentuknya kegiatan perdagangan.[20]

Sebagai contoh tentang pentingnya keberadaan sungai Maluka yang dipakai untuk kegiatan pelayaran, misalnya mengenai perjalanan A.L. Weddik pada bulan Juli-Agustus 1846 dari Banjarmasin ke Tanjung Sambar. Weddik melakukan perjalanan berikutnya pada bulan november 1846 ke daerah Maluka, menggunakan kapal uap Playdes dengan nakhoda Clijver, perjalanan itu menempuh sungai Martapura, sungai Barito, perairan pantai Tanjung Selatan dan Sungai Maluka. [21]

Dalam tinjauan secara umum, sebenarnya pada awalnya ketertarikan Raffles pada Borneo diawali dengan hasil penelitiannya di Borneo yang mempunyai kondisi yang subur. Selanjutnya Raffles memberikan laporan tentang adanya cabe rawit dan rotan yang sangat bagus yang terdapat di Banjarmasin dan juga memaparkan tentang besarnya jumlah wax (bahan baku lilin), sarang burung, tanduk rusa dan dagingnya, kulit dan kayu. Raffles sangat antusias menyampaikannya kepada Gubernur Jenderal Bengal yaitu Lord Minto. Hal ini dapat dipahami karena keberadaan Banjarmasin (diantaranya daerah Maluka) adalah merupakan salah satu daerah yang paling subur di dunia, dan juga keberadaannya sebagai penghasil emas dan intan yang produktif [22]

Kondisi penduduk di wilayah Konsesi Maluka pada masa Inggris dalam kurun waktu 1811-1816 tentu saja sangat berbeda dengan kondisi penduduk di daerah Maluka yang ada sekarang. Di daerah pantai seperti tanah laut, penduduknya melakukan hubungan dengan kota Banjarmasin melalui sungai Batutungku, Tabanio, dan Maluka. Mereka yang berasal dari daerah yang agak kedalam menggunakan sungai-sungai itu sebagai muara kemudian menyusuri pantai untuk mencapai Banjarmasin [23]. Kondisi wilayah Maluka yang berada di dataran rendah dengan sungai Maluka sebagai sarana transportasi lewat sungai menjadikan daerah Konsesi Maluka sebagai daerah yang ramai.

Mengenai keadaan topografis atau kependudukan menurut Bambang subiyakto (1999), pada awal Abad Ke-19 penduduk Tanah Laut hanya sedikit jumlahnya. Kemudian mereka sebagian besar terserang epidemi yang disebut dengan penyakit kuning. Sebagian besar penduduknya tewas, dan hanya tersisa sedikit yang masih hidup. Beberapa waktu kemudian penduduk daerah ini bertambah dengan adanya migrasi penduduk Martapura, disusul kemudian dengan penduduk yang berasal dari Hulu sungai. Penduduk Tanah Laut, diantaranya daerah Maluka semakin bertambah dengan adanya pendatang baru tersebut yang menetap, terutama dari Martapura dan Amuntai (Hulu Sungai) [24].

Dalam mengkaji keadaan sosial budaya di daerah Maluka dalam kurun waktu 1811-1816 harus ditinjau secara analisis. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan yang benar-benar terjadi pada masa tersebut, utamanya pada masa pemerintahan Residen Alexander Hare.

Daerah Konsesi Maluka pada awalnya merupakan daerah yang tak berpenghuni. Menurut M. Fajar A.L. (2004) sebelum etnis lain berdatangan, telah terlebih dahulu terdapat komunitas orang Cina yang berada di kampung parit,[25], atau tepatnya bermukim di kelurahan Angsau wilayah kecamatan Pelaihari, Tanah Laut. Orang orang Cina tersebut banyak berasal dari suku Hakka, Theo Chiu, Hokkian. Upaya untuk mendatangkan orang Cina tersebut adalah sehubungan dengan alasan mereka sendiri untuk mencari kehidupan yang lebih baik sehingga mereka memilih tinggal di tempat itu. Secara makro dapat dilihat dari tinjauan politis, yaitu hubungan persahabatan antara Kerajaan Banjar dan Kerajaan Tiongkok. Kerajaan Banjar mengirimkan surat kepada Raja Tiongkok agar dikirimkan orang-orang yang ahli untuk pembangunan di Kerajaan Banjar. Raja Tiongkok menyetujui dan mengirimkan 11 orang laki-laki yang mempunyai kepandaian khusus, yaitu ahli perkebunan, perdagangan, peternakan, pertanian, pertukangan, tumbuh-tumbuhan, perdagangan, perikanan, kerajinan dan obat-obatan. Atas perintah Raja Banjar pada saat itu yang berada di Martapura, kesebelas orang Cina tersebut dibawa ke desa Parit dengan dikawal oleh sebelas orang punggawa Keraton. [26]

Di desa Parit mereka bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sebagian dari mereka menggali parit dan menemukan emas, sehingga tempat penemuan tersebut dikenal dengan Parit Mas. Lama kelamaan akhirnya etnis Cina tersebut menetap dan kawin dengan penduduk setempat. Perkawinan etnis Cina Parit yang terbesar yaitu dengan orang-orang Bukit Meratus dan Kapuas Hulu. [27]


Penduduk Cina Parit hidup dengan cara bertani, beternak, berkebun dan mengerjakan kerajinan industri seperti tempayan, inangan, belanga, piring melawen, serta peludahan yang terbuat dari emas dan perak. Barang-barang tersebut di jual ke Jawa dan Singapura. Barang-barang kerajinan lainnya terbuat dari keramik dan batu-batuan seperti batu Giok dan Zamrud. Agama yang dianut oleh penduduk Cina Parit adalah campuran antara Konghucu dan Taoisme yang merupakan agama nenek moyang orang Tionghoa.[28]

Sementara itu di daerah Konsesi Maluka dan Tabanio telah terbentuk permukiman Cina yang pertama di daerah Tanah Laut, yaitu mulai terjadi tahun 1790-an. Alasan yang sama juga melatar belakangi pembentukan pemukiman Cina di daerah konsesi Maluka ini, yaitu  atas permintaan Sultan Panembahan Batu, orang-orang Cina itu pada mulanya didatangkan sebanyak 13 orang kemudian ditambah lagi dengan 70 orang langsung dari Cina. Kemudian atas bantuan Hare didatangkan pula sekitar 70 orang ke daerah itu, pada dasawarsa kedua Abad Ke-19. Pada saat itu jumlah mereka lebih dari 150 orang, diangkatlah seorang kapten Cina disana berdasarkan keputusan Residen [29]

Pada perkembangan selanjutnya disamping mendatangkan orang Cina, didatangkan pula oleh Hare sekitar 4000 orang pekerja dari Jawa. Mereka terutama ditempatkan di daerah Konsesi Maluka dan Pulau Sari [30], Tanah Laut, untuk mengerjakan usahanya dibidang perkebunan dan yang bersedia bekerja sebagai kuli.

Adanya permintaan Hare pada Sultan Sulaiman untuk menyediakan pekerja di perkebunannya memang dipenuhi, akan tetapi Sultan hanya mampu menyediakan sangat sedikit pekerja dari Jawa. Selain sedikitnya jumlah penduduk, pada umumnya penduduk dari Banjarmasin dan Martapura enggan menerima pekerjaan sebagai kuli dan pada umumnya pula penduduk telah mempunyai  pekerjaan masing-masing [31]


Dari data sejarah di atas dapat kita rekonstruksi kembali keadaan sosial budaya masyarakat di daerah Konsesi Maluka yang dicirikan oleh budaya Cina, walaupun tidak dapat dikesampingkan adanya peranan budaya lokal. Demikian pula datangnya orang Jawa mengindikasikan adanya pluralisme di daerah Konsesi Maluka, atau dapat dikatakan adanya beberapa etnis yang beragam mencirikan keadaan yang dinamis di daerah Konsesi Maluka. Sudah barang tentu budaya yang berkembang semakin beragam dan ada perpaduan dengan budaya lokal.

Hal ini dapat ditinjau dari aspek budaya bahwa dengan adanya ragam etnis yang ada di daerah konsesi Maluka yang didatangkan oleh Alexander Hare, maka memerlukan adanya komunikasi antar budaya[32] agar kehidupan sosial masyarakat yang ada dapat terlaksana dan berlangsung secara kontinu. Keberadaan atau analisis sosial tentang daerah konsesi Maluka belum ada atau tidak terdapat dalam beberapa arsip yang penulis gunakan, sehingga dalam pembahasan mengenai sosial budaya  di daerah konsesi Maluka pada masa tersebut sangat terbatas untuk dipaparkan dalam tulisan ini.

Pada Perjanjian 1812 antara pemerintah Inggris dengan Sultan Banjar, pasal 5 isinya adalah bahwa Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah menyerahkan sepenuhnya kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah diantaranya adalah daerah Ibukota, benteng pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintang dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai dan Doosan, Baran Katia, Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah yang diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada saat itu kepada Inggris.

Dari beberapa daerah yang disebutkan tersebut tidak terdapat daerah Maluka. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953), daerah Maluka memang tidak dimasukkan karena daerah Maluka adalah merupakan tanah eigendom atau konsesi dan merupakan bagian dari daerah atau distrik Pulau Laut. [33] Hare secara sepihak mengklaim daerah tersebut milik pribadinya, walaupun dalam hal ini pengelolannya masih dibawah kendali pemerintah Inggris atau EIC. Misalnya saja dalam pengelolaan pertanian dan perdagangan cabai rawit maupun hak untuk penebangan kayu dan serta penambangan emas dan intan. Usaha lain yang dikembangkan adalah adanya usaha perkebunan dan pertanian lokal, membuat industri perahu maupun pembuatan atau penempaan mata uang. Hal yang menandai ciri khas dari kolonialisme Inggris di setiap wilayah yang dijajahnya atau merupakan koloninya.

Referensi :
- Arsip tentang perjanjian tersebut terdapat dalam Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635-1860, diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik indonesia (ANRI) Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat, Djakarta, 1965.
-  C.P.F. Luhulima (ed). Bunga Rampai Sejarah Maluku. Lembaga Research Kebudayaan Nasional, LIPI terbitan tak berkala, Serie no. 1/9, Jakarta, 1971, hal 1-8.Bandingkan dengan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III, Depdikbud & Balai Pustaka, 1990, hal. 113, maupun Sejarah Daerah Maluku, Depdikbud, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Jakarta, 1976/1977, hal. 23.
-  J. Keuning. Sejarah Ambon Sampai Akhir Abad ke-17, Kerjasama LIPI dengan Koninklijk Instituut voor Taal , Land en Volkenkunde (KITLV) dan Bhatara, Jakarta, 1973. hal. 77.
- Paramita.R. dan Abdoerachman. Peninggalan-Peninggalan yang Bertjiri Portugis di Amboina. Lembaga Research Kebudayaan Nasional, LIPI terbitan tak berkala, Serie no. 1/9,Jakarta, 1971, hal 1-8.
-  R.Z. Leirissa. Politik Perdagangan VOC di Maluku. Lembaga Research Kebudayaan Nasional, LIPI terbitan tak berkala, Serie no. 1/9, Jakarta, 1971, hal 145..
- keadaan alam di kalimantan tenggara tersebut dijelaskan dalam Encyclopedie van Nederlanch Indie jilid I, dalam M. Idwar Saleh. Bandjarmasin, Selayang Pandang Bangkitnya Keradjaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi Dan Artinya Dalam Sedjarah Indonesia dalam Abad Ke 17. KPPK Balai Pendidikan Guru, Bandung. 1960, hal. 25-26, bandingkan dengan pembahasan mengenai keadaan geografis Kalimantan Selatan dalam M. Idwar Saleh. Banjarmasih, Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 1981/1982, hal. 7-8.
- Bambang Subiyakto. Pelayaran Sungai Di Kalimantan Tenggara, Tinjauan Historis Tentang Transportasi Air Abad Ke-19. Tesis pada program Pascasrjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1999. hal. 10.
- J. P. Moquette. Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka. Albrecht & Co and M. Nijhoff, Batavia, 1906, Hal 491. Artikel ini di kumpulkan oleh Van Ronkel dalam buku Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde pada tahun 1906.
- Sampai sekarang yang dinamakan dengan Sungai Bantal belum dapat diidentifikasi tepatnya ada di daerah mana. Daerah Bati-Bati masih ada sampai sekarang yaitu daerah kecamatan Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut., sedangkan Oedjong Bati dan taman Margarita sampai saat ini juga belum dapat diidentifikasi. Sedangkan Tabanio dalam arsip Belanda biasanya ditulis dengan Tobaniouw.
- Bambang Subiyakto. Perompakan : Sebuah Realitas Historis Abad Ke-19 di Kal-Sel, dalam buku Kenangan Purna Tugas Prof. M.P. Lambut, Kerjasama LPKPK, Forum 24, Pemko dan DPRD kota Banjarmasin, Banjarmasin, 2003, hal. 93
- Bernet Bronson. Lost Kingdom Mislaid, dalam Bulletin Field Museum Of Natural History. Volume 46/4, tahun 1975, hal. 9.
- Teori Miksic dalam Karel W Butzer. Environment and Archeology : An Introduction to plestocene Geography. Chicago : Aldine Publishing Company, 1954, hal. 12.
- Graham Irwin. Ninetenth–Century Borneo, A Study in Diplomatic Rivalry,.Malaya, S.Gravenhage-Martinus nijhoff, 1955, hal.16, bandingkan dengan pemaparan Syafii dalam tulisannya Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles, Mutiara, Jakarta, 1982, hal. 16-20. Keberadaan kalimantan sebagai penghasil intan juga dijelaskan oleh Tjilik Riwut dalam Kalimantan Memanggil, Endang, djakarta, 1958, hal 302-303.
- Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara komponen-komponen komunikasi juga berkenaan dengan komunikasi antar budaya. Namun apa yang terutama yang menandai komunikasi antar budaya adalah bahwa sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Ciri ini saja menandai untuk mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik dan harus memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi. Komunikasi antar budaya dapat dilihat dalam persfektif model. Hal ini dikemukakan oleh Larry A. Samovar & Richard E. Porter. Interculturac Communication : A Reader, Dalam Deddy Mulyana & Jalaluddin Rahmat (ed). Komunikasi Antar Budaya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, hal. 21.
- Amir Hasan Kiai Bondan. Suluh Sedjarah Kalimantan, M.A.T. Pertjetakan Fadjar, 1953, hal. 32.

Alexander Hare en Maluka (II)


maloeka
Mata Uang Maluka
Alexander Hare is een naam die ik al jaren ken vanuit de handel in munten. Op pagina 125 van het standaardwerk voor de koloniale munten

“De Munten van de Nederlandsche Gebiedsdeelen Overzee 1601 – 1948 van de hand van C. Scholten uit 1951 staat onder het kopje Borneo (Maloeka): “In October 1812 werd het land van Maloeka op Borneo bij Sultansbesluit afgestaan aan den Engelschen avonturier Alexander Hare. Toen het Nederlandsche gezag het bewind weer overnam, moest hij dit onafhankelijke rijkje verlaten.” Dan volgt een opsomming van de munten. Het hoeft geen betoog dat deze munten uiterst zeldzaam zijn, ik heb er ooit eentje kunnen vinden en heb er enige in verzamelingen gezien. Iedere keer dat ik pagina 125 van Scholten open sloeg kwam ik de twee zinnen weer tegen en elke keer vroeg ik mij af wie die Alexander Hare wel kon wezen. Dat heeft zo een 15 jaar geduurd. Af en toe kwam ik wel eens wat summiere informatie tegen, maar nooit kwam ik echt aan de weet wie die avonturier die zijn eigen geld uitgaf nu wel was. Zo iets kan mij dwars gaan zitten, vooral omdat ik me had voorgenomen dit eens uit te gaan zoeken. Ik kon echter nauwelijks aanknopingspunten vinden. Zo heb ik stapels zaken leggen die nog eens uitgezocht moeten worden en waar bijna nooit iets van terecht komt. Laatst ontmoette ik zijn naam weer en werd mij meer van deze man duidelijk, hij bleek vrouwen te verzamelen en was daar een boekje over verschenen. Ook had ik in de loop der jaren wat titels van publicaties gevonden waar meer over deze man in stond. Ik nam contact met Patrick op die nogal goed in dit speurwerk is en kreeg van hem allerlei links naar obscure geschriften waarin de naam van deze man werd genoemd. Daaruit heb ik het volgende verhaal gereconstrueerd.

Al heel lang wist ik van een rapport dat “The Banjarmassin Enormity” heette, dat heeft Patrick gevonden en tezamen met enige andere publicaties werd mij het een en ander duidelijk. Wat betreft de persoonlijke gegevens is er weinig bekend over de Alexander Hare er is ook nooit een portret van hem opgedoken. Hij werd omstreeks 1780 geboren als zoon van een rijke horlogemaker. Hij had nog drie broers, twee daarvan hadden een im- en exportfirma in Londoh en handelden in koloniale waren. De vierde die David heette is juwelier in Batavia geworden en was een gerespecteerd persoon. Alexander Hare verbleef af en toe bij deze broer in Batavia om vandaar uit allerlei invloed op de regering van Nederlands Indië uit te oefenen. Toen Hare ongeveer 20 jaar oud was ging hij als klerk bij een Britse handelsfirma in Portugal werken. Na enige jaren trad hij in dienst bij een Brits Handelshuis te Calcutta. Daar leerde hij het vak van de handel in tropische producten, die hij ongetwijfeld aan zijn broers in Londen leverde. In 1807 verhuisde hij naar Malakka en vestigde zich daar als koopman. Hij had daar veel contact met handelaren uit Nederlands Indië. In Malakka maakte hij ook kennis met de slavenhandel, iets dat later een belangrijke rol in zijn leven zou gaan spelen en niet alleen als handel. In 1808 maakte hij te Malakka kennis met Stamford Raffles die secretaris van de E.I.C. op het eiland Penang was. Deze kennismaking mondde uit in een vriendschap. Raffles werd vanaf 1810 in opdracht van Lord Minto, de Engelse Gouverneur-generaal van India, met geheime missies, die moesten leiden tot de verovering van Java, belast. Het bestuur van Java en Onderhorigheden was moeilijk geworden voor de Nederlanders omdat het moederland door Napoleon was bezet en de wereldzeeën geblokkeerd door de Engelsen werden. Er waren trouwens in Indië diverse vorstendommen zoals Atjeh, Palembang en Bali die de Nederlanders liever zagen gaan, Raffles papte met deze vorsten aan. In 1811 vallen de Engelsen Java binnen en nemen het bestuur over, Stamford Raffles wordt luitenant gouverneur-generaal. Met zijn regering begint een vijfjarige periode die bekend zal worden onder de naam Brits Interregnum (1811 – 1816) .

Er wordt aangenomen dat Alexander Hare voor zijn diensten aan Raffles verleend is beloond. Hij werd tot resident te Banjarmassin benoemd met de opdracht het gebied tot ontwikkeling te brengen. Hare ontving hiervoor van het Britse bestuur duizenden Engelse ponden per jaar. Later nam hare een stuk land van 14400 vierkante mijlen van de sultan over. Dit land lag in de buurt van Banjarmassin en was eigendom van de sultan aldaar, deze had aangedrongen op de komst van Hare. De sultan had als geste tweehonderd slaven aangeboden, waar “toevallig’ veel vrouwen tussen zaten. Het waren vooral deze vrouwen, die uit de hele archipel afkomstig waren waar Hare zijn oog op had laten vallen. Het land waar Hare als een Sultan over regeerde noemde hij “Maluka”. In het contract dat met Sultan Soleiman werd gesloten en mede is ondertekent door Prins Panembahan Adam en prins Aria Mangka Negara en de assistent-resident Wahl wordt het land omschreven als : Gelegen ten noorden van het midden van de rivier Martapoera, vandaar tot aan de oorsprong van die rivier recht zuidwaarts tot aan de zee, van daar tot van de overkant van Tatas en de rivier Martapoera, tot recht noordwaarts de helft der rivier bantal, daaronder inbegrepen de landen van Bati-Bati, alle de stranden en lage gronden Oedjung Bati en de padang of het park van Margarita. Het contract werd ondertekent in het land van Martapoera op donderdag van de maand oktober 1812, van het Hidjara het 1227 e jaar genaamd Alif op de 24ste van de maand Ramadan. Hare had al vanaf 1810 uitgebreid handel gedreven met Banjarmassin, hij wist dat dit gebied door het Nederlandse bestuur achtergelaten was. De Sultan had gevraagd om zich onder Brits bescherming te mogen stellen. Hare was al in Malakka begonnen met het verzamelen van vrouwelijke slavinnen voor zijn eigen genoegen en hij zocht nu een plek waar hij zich in alle rust met deze dames kon gaan bezig houden. Hij deed dit het liefst zover mogelijk van Europese aanwezigheid, want hij had al heel wat kritiek op zijn levenswijze gehad. De vrouwen behoorden allemaal tot het Maleise ras en werden Hare’s volgelingen genoemd, zij waren immers door hem gekocht dus moesten zij wel volgen. Hare was zijn verzameling reeds tijdens zijn verblijf in Calcutta begonnen, daar konden vrouwen uit de laagste kaste voor een spotprijs bemachtigd worden. Toen hij zakenman in Malakka was kreeg hij af en toe van Sultans na het afsluiten van contracten een slavin cadeau. Hare was niet vies van allerlei duistere praktijken en was hierdoor een vermogend man geworden. Onder zijn slavinnen bevonden zich een Buginese, een meisje uit Soenda, een Timorese, een Papoease, eentje uit Basoetoeland en een Kantonese. De hoofdvrouw was een dame uit Calcutta, die bij Hare was gekomen toen zij 14 jaar oud was, zij was daarvoor een hofdanseresje geweest.

Raffles was van plan toen Java eenmaal veroverd was Borneo verder te ontwikkelen, de Nederlanders hadden hun posten in Pontianak en Banjarmassin verlaten In 1809 had Daendels de forten te Tatas en Tabaniou laten ontruimen, het verblijf in Banjarmassin was te kostbaar geworden. In ruil voor de forten ontving hij van de Sultan een zuivere diamant. Raffles vermoedde dat Borneo veel verborgen schatten had, zowel op het land als onder de grond. Het land dat Hare in beheer had gekregen was zeer vruchtbaar en voor velerlei cultures geschikt. Door de glooiende velden afgewisseld met bergen had het overeenkomsten met Java. In het kreupelhout wemelde het van de herten, de bossen leverden goed hout op en het vee gedijde goed op de voedzame grasvelden. De rivieren boden goede mogelijkheden voor transport, deze waren tot ver landinwaarts bevaarbaar. Het had een groot nadeel, het was nauwelijks bevolkt. Om daarin te voorzien deed Hare aan Raffles het verzoek om hem 5000 man te sturen, hetzij bannelingen, hetzij vrijwilligers. Er werden slechts 3000 man gestuurd, velen deserteerden alvorens zij in de vaartuigen zaten die hen naar Borneo zouden transporteren. De vaartuigen waren door Hare geleverd en hij werd daarvoor goed door het Gouvernement betaald. 25 ropijen per hoofd en 4 ropijen per maand voor onderhoud. Deze mensen werden eenmaal op Borneo aangekomen op Poelo Lampeh geplaatst. Zij moesten daar een huis voor zichzelf bouwen en daarachter een tuin aanleggen om in hun onderhoud te voorzien. De huizen werden kampongs gewijze gebouwd, aan het hoofd van een kampong stond een Demang en die werden bestuurd door een Tomongong. Er was een politiekorps van 150 met pieken gewapende mannen, de Djajang Sehars. Hare liet voor zichzelf een heel groot huis bouwen, waar meer dan 100 Javanen aan werkten, het stond 30 voet boven de grond en was omzoomd door een pagar. Op het erf stonden kleine huisjes waar de vrouwen verbleven. Te Kurrow had hij een scheepswerf laten oprichten en kapte men daar het hout om een schip van 400 ton te bouwen. Er was een goud- en diamantmijn geopend en er werden allerlei landbouwproeven genomen. Hare kon vanuit zijn Maluka handel drijven vrij van tollen. Hij importeerde ook zout uit de Oosthoek van Java, een product waar hij het monopolie op had.   



Alexander Hare en Maluka (I)


maloeka
Mata Uang Maluka
Alexander Hare is een naam die ik al jaren ken vanuit de handel in munten. Op pagina 125 van het standaardwerk voor de koloniale munten

“De Munten van de Nederlandsche Gebiedsdeelen Overzee 1601 – 1948 van de hand van C. Scholten uit 1951 staat onder het kopje Borneo (Maloeka): “In October 1812 werd het land van Maloeka op Borneo bij Sultansbesluit afgestaan aan den Engelschen avonturier Alexander Hare. Toen het Nederlandsche gezag het bewind weer overnam, moest hij dit onafhankelijke rijkje verlaten.” Dan volgt een opsomming van de munten. Het hoeft geen betoog dat deze munten uiterst zeldzaam zijn, ik heb er ooit eentje kunnen vinden en heb er enige in verzamelingen gezien. Iedere keer dat ik pagina 125 van Scholten open sloeg kwam ik de twee zinnen weer tegen en elke keer vroeg ik mij af wie die Alexander Hare wel kon wezen. Dat heeft zo een 15 jaar geduurd. Af en toe kwam ik wel eens wat summiere informatie tegen, maar nooit kwam ik echt aan de weet wie die avonturier die zijn eigen geld uitgaf nu wel was. Zo iets kan mij dwars gaan zitten, vooral omdat ik me had voorgenomen dit eens uit te gaan zoeken. Ik kon echter nauwelijks aanknopingspunten vinden. Zo heb ik stapels zaken leggen die nog eens uitgezocht moeten worden en waar bijna nooit iets van terecht komt. Laatst ontmoette ik zijn naam weer en werd mij meer van deze man duidelijk, hij bleek vrouwen te verzamelen en was daar een boekje over verschenen. Ook had ik in de loop der jaren wat titels van publicaties gevonden waar meer over deze man in stond. Ik nam contact met Patrick op die nogal goed in dit speurwerk is en kreeg van hem allerlei links naar obscure geschriften waarin de naam van deze man werd genoemd. Daaruit heb ik het volgende verhaal gereconstrueerd.

Al heel lang wist ik van een rapport dat “The Banjarmassin Enormity” heette, dat heeft Patrick gevonden en tezamen met enige andere publicaties werd mij het een en ander duidelijk. Wat betreft de persoonlijke gegevens is er weinig bekend over de Alexander Hare er is ook nooit een portret van hem opgedoken. Hij werd omstreeks 1780 geboren als zoon van een rijke horlogemaker. Hij had nog drie broers, twee daarvan hadden een im- en exportfirma in Londoh en handelden in koloniale waren. De vierde die David heette is juwelier in Batavia geworden en was een gerespecteerd persoon. Alexander Hare verbleef af en toe bij deze broer in Batavia om vandaar uit allerlei invloed op de regering van Nederlands Indië uit te oefenen. Toen Hare ongeveer 20 jaar oud was ging hij als klerk bij een Britse handelsfirma in Portugal werken. Na enige jaren trad hij in dienst bij een Brits Handelshuis te Calcutta. Daar leerde hij het vak van de handel in tropische producten, die hij ongetwijfeld aan zijn broers in Londen leverde. In 1807 verhuisde hij naar Malakka en vestigde zich daar als koopman. Hij had daar veel contact met handelaren uit Nederlands Indië. In Malakka maakte hij ook kennis met de slavenhandel, iets dat later een belangrijke rol in zijn leven zou gaan spelen en niet alleen als handel. In 1808 maakte hij te Malakka kennis met Stamford Raffles die secretaris van de E.I.C. op het eiland Penang was. Deze kennismaking mondde uit in een vriendschap. Raffles werd vanaf 1810 in opdracht van Lord Minto, de Engelse Gouverneur-generaal van India, met geheime missies, die moesten leiden tot de verovering van Java, belast. Het bestuur van Java en Onderhorigheden was moeilijk geworden voor de Nederlanders omdat het moederland door Napoleon was bezet en de wereldzeeën geblokkeerd door de Engelsen werden. Er waren trouwens in Indië diverse vorstendommen zoals Atjeh, Palembang en Bali die de Nederlanders liever zagen gaan, Raffles papte met deze vorsten aan. In 1811 vallen de Engelsen Java binnen en nemen het bestuur over, Stamford Raffles wordt luitenant gouverneur-generaal. Met zijn regering begint een vijfjarige periode die bekend zal worden onder de naam Brits Interregnum (1811 – 1816) .

Er wordt aangenomen dat Alexander Hare voor zijn diensten aan Raffles verleend is beloond. Hij werd tot resident te Banjarmassin benoemd met de opdracht het gebied tot ontwikkeling te brengen. Hare ontving hiervoor van het Britse bestuur duizenden Engelse ponden per jaar. Later nam hare een stuk land van 14400 vierkante mijlen van de sultan over. Dit land lag in de buurt van Banjarmassin en was eigendom van de sultan aldaar, deze had aangedrongen op de komst van Hare. De sultan had als geste tweehonderd slaven aangeboden, waar “toevallig’ veel vrouwen tussen zaten. Het waren vooral deze vrouwen, die uit de hele archipel afkomstig waren waar Hare zijn oog op had laten vallen. Het land waar Hare als een Sultan over regeerde noemde hij “Maluka”. In het contract dat met Sultan Soleiman werd gesloten en mede is ondertekent door Prins Panembahan Adam en prins Aria Mangka Negara en de assistent-resident Wahl wordt het land omschreven als : Gelegen ten noorden van het midden van de rivier Martapoera, vandaar tot aan de oorsprong van die rivier recht zuidwaarts tot aan de zee, van daar tot van de overkant van Tatas en de rivier Martapoera, tot recht noordwaarts de helft der rivier bantal, daaronder inbegrepen de landen van Bati-Bati, alle de stranden en lage gronden Oedjung Bati en de padang of het park van Margarita. Het contract werd ondertekent in het land van Martapoera op donderdag van de maand oktober 1812, van het Hidjara het 1227 e jaar genaamd Alif op de 24ste van de maand Ramadan. Hare had al vanaf 1810 uitgebreid handel gedreven met Banjarmassin, hij wist dat dit gebied door het Nederlandse bestuur achtergelaten was. De Sultan had gevraagd om zich onder Brits bescherming te mogen stellen. Hare was al in Malakka begonnen met het verzamelen van vrouwelijke slavinnen voor zijn eigen genoegen en hij zocht nu een plek waar hij zich in alle rust met deze dames kon gaan bezig houden. Hij deed dit het liefst zover mogelijk van Europese aanwezigheid, want hij had al heel wat kritiek op zijn levenswijze gehad. De vrouwen behoorden allemaal tot het Maleise ras en werden Hare’s volgelingen genoemd, zij waren immers door hem gekocht dus moesten zij wel volgen. Hare was zijn verzameling reeds tijdens zijn verblijf in Calcutta begonnen, daar konden vrouwen uit de laagste kaste voor een spotprijs bemachtigd worden. Toen hij zakenman in Malakka was kreeg hij af en toe van Sultans na het afsluiten van contracten een slavin cadeau. Hare was niet vies van allerlei duistere praktijken en was hierdoor een vermogend man geworden. Onder zijn slavinnen bevonden zich een Buginese, een meisje uit Soenda, een Timorese, een Papoease, eentje uit Basoetoeland en een Kantonese. De hoofdvrouw was een dame uit Calcutta, die bij Hare was gekomen toen zij 14 jaar oud was, zij was daarvoor een hofdanseresje geweest.

Raffles was van plan toen Java eenmaal veroverd was Borneo verder te ontwikkelen, de Nederlanders hadden hun posten in Pontianak en Banjarmassin verlaten In 1809 had Daendels de forten te Tatas en Tabaniou laten ontruimen, het verblijf in Banjarmassin was te kostbaar geworden. In ruil voor de forten ontving hij van de Sultan een zuivere diamant. Raffles vermoedde dat Borneo veel verborgen schatten had, zowel op het land als onder de grond. Het land dat Hare in beheer had gekregen was zeer vruchtbaar en voor velerlei cultures geschikt. Door de glooiende velden afgewisseld met bergen had het overeenkomsten met Java. In het kreupelhout wemelde het van de herten, de bossen leverden goed hout op en het vee gedijde goed op de voedzame grasvelden. De rivieren boden goede mogelijkheden voor transport, deze waren tot ver landinwaarts bevaarbaar. Het had een groot nadeel, het was nauwelijks bevolkt. Om daarin te voorzien deed Hare aan Raffles het verzoek om hem 5000 man te sturen, hetzij bannelingen, hetzij vrijwilligers. Er werden slechts 3000 man gestuurd, velen deserteerden alvorens zij in de vaartuigen zaten die hen naar Borneo zouden transporteren. De vaartuigen waren door Hare geleverd en hij werd daarvoor goed door het Gouvernement betaald. 25 ropijen per hoofd en 4 ropijen per maand voor onderhoud. Deze mensen werden eenmaal op Borneo aangekomen op Poelo Lampeh geplaatst. Zij moesten daar een huis voor zichzelf bouwen en daarachter een tuin aanleggen om in hun onderhoud te voorzien. De huizen werden kampongs gewijze gebouwd, aan het hoofd van een kampong stond een Demang en die werden bestuurd door een Tomongong. Er was een politiekorps van 150 met pieken gewapende mannen, de Djajang Sehars. Hare liet voor zichzelf een heel groot huis bouwen, waar meer dan 100 Javanen aan werkten, het stond 30 voet boven de grond en was omzoomd door een pagar. Op het erf stonden kleine huisjes waar de vrouwen verbleven. Te Kurrow had hij een scheepswerf laten oprichten en kapte men daar het hout om een schip van 400 ton te bouwen. Er was een goud- en diamantmijn geopend en er werden allerlei landbouwproeven genomen. Hare kon vanuit zijn Maluka handel drijven vrij van tollen. Hij importeerde ook zout uit de Oosthoek van Java, een product waar hij het monopolie op had.


PERBUDAKAN DI DAERAH KONSESI MALUKA : DAMPAK KOLUSI BIROKRAT INGGRIS DI KALIMANTAN TENGGARA TAHUN 1811-1816


1. Pendahuluan

Masalah penjajahan, birokrasi serta eksploitasi tenaga kerja bila dipandang dalam perspektif Sejarah, merupakan suatu mata-rantai proses yang berkesinambungan. Oleh karena itu, dalam melihat konteks penjajahan dalam kurun waktu tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar budaya politik dan birokrasi pemerintahnya. Penjajahan juga akhirnya mengakibatkan banyak eksploitasi tenaga kerja dan perbudakan di nusantara pada abad 18 dan 19.
Secara khusus, masalah perbudakan memang masih cukup langka dibahas dalam historiografi di Indonesia. Padahal fenomena ini terjadi selama penjajahan kolonial Belanda dan Inggris di nusantara. Satu karya fenomenal tentang perbudakan adalah tulisan Anwar Thosibo, Historiografi Perbudakan, Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX, terbitan 2002. Kasus perbudakan ini sendiri sebenarnya tak hanya terjadi di Sulawesi Selatan. Di belahan bumi nusantara lainnya, perbudakan (slavery) juga terjadi. Khusus pada masa pemerintahan Inggris 1811-1816, ada kebijakan perbudakan dilarang. Tapi, dalam kenyataannya di beberapa daerah perbudakan tetap dilegalkan, ’dibungkus’ dengan dalih pengadaan tenaga kerja.
Salah satu kasusnya adalah perbudakan di daerah konsesi Maluka pada masa pemerintahan Inggris di Kalimantan Tenggara tahun 1811-1816. Maluka memiliki toponim hampir sama dengan Malaka dan Maluku. Maluka adalah wilayah Kalimantan Tenggara atau Kalimantan Selatan saat ini. Daerah yang secara administratif berada di desa Maluka, Kecamatan Pulau Sari Kabupaten Tanah Laut ini menyimpan sejarah panjang selama masa pendudukan Inggris dengan East India Company (EIC)-nya di Indonesia, khususnya di tanah Banjar. Nama Maluka sering disebut dalam dalam sumber-sumber Kolonial biasanya ditulis dengan sebutan Maloeka atau Molukko.
Misalnya di dalam Tractaat 13 Agustus 1787 dan Alteratie en Ampliatie Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin Van 1 Januarij 1817 yang menyebut daerah Maluka dengan Molucco. Begitupun dengan istilah yang terdapat di Contract Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826, Maluka disebut Molukko. Sementara itu, dalam Ampliate En Verklaring Op Het Contract Met Den Sultan Van Bandjarmasin 18 Maret 1845 ditulis Maloekoe. Sama dengan yang digunakan penulis sejarah Belanda, J.P. Moquette (1906) pada artikelnya Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka, yang terdapat dalam buku Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde).
Penyediaan tenaga kerja di Maluka menjadi perbudakan terselubung. Untuk melihat konteks perbudakan di daerah Maluka, memang ada konsep yang penulis gunakan. Dari segi politik dan ekonomi, konsep perbudakan atau slavery mempunyai konotasi eksploitasi tenaga manusia. Sedangkan menurut kamus Inggris-Indonesia, slavery perarti perbudakan atau bekerja keras. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia budak berarti hamba sahaya atau anak anak. Dengan kata lain slavery berarti penindasan atau sama pengertiannya dengan penghambaan dan ketergantungan.
Sementara konsep kolusi yang dipakai penulis dalam menjelaskan kasus perbudakan ini menggunakan konsep Lopa (1996). Menurutnya, dalam bahasa Inggris, collusion (kolusi) berarti persekongkolan. Persekongkolan untuk terjadinya penipuan (manipulasi), penggelapan, pemutarbalikan kebenaran, dan sebagainya. Di Lexicon
Webster International Dictionary, halaman 198, dijelaskan arti collusion, antara lain, apa saja yang dilakukan dua orang atau lebih secara tertutup (diam-diam), asalkan perbuatan itu bertujuan menciptakan hal yang tidak terpuji, seperti kecurangan dan penipuan, dinamakan kolusi. Inilah konsep kolusi yang dilakukan Residen Kalimantan Tenggara, Alexander Hare dengan Gubernur Jenderal East India Company, Thomas Stanford Raffles sebagai penguasa tertinggi kolonial Inggris di nusantara.
Raffles, Gubernur Jenderal Inggris, 1811-1816
Kemudian, untuk penggunaan kategori perbudakan pada masa pengembangan daerah Maluka oleh Alexander Hare penulis menggunakan kategori Watson yang di gunakan Anwar Thosibo (2002), budak didefenisikan sebagai hak milik atau pekerja wajib. Ini sangat tepat menggambarkan status di daerah konsesi Maluka dalam kategori budak.
Perbudakan dengan dalih penyediaan tenaga kerja di daerah konsesi Maluka berawal dari Perjanjian atau Treaty 1812 antara pemerintah Inggris dengan Sultan Banjar, Sulaiman Alamah Tahmidullah. Pada pasal 5 isinya adalah bahwa Sultan menyerahkan sepenuhnya kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah diantaranya adalah daerah Ibukota, benteng pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintang dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai, Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah konsesi yang diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada saat itu kepada Inggris.
Dari beberapa daerah yang disebutkan dalam perjanjian, memang tidak menyebut secara langsung daerah Maluka. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953), daerah Maluka merupakan tanah eigendom atau konsesi dan merupakan bagian dari daerah atau distrik Pulau Laut.
Hare secara sepihak mengklaim daerah tersebut milik pribadinya, walaupun dalam hal ini pengelolannya masih dibawah kendali pemerintah Inggris atau EIC. Misalnya saja dalam pengelolaan pertanian dan perdagangan cabai rawit maupun hak untuk penebangan kayu dan serta penambangan emas dan intan. Usaha lain yang dikembangkan adalah adanya usaha perkebunan dan pertanian lokal, membuat industri perahu maupun pembuatan atau penempaan mata uang. Hal yang menandai ciri khas dari kolonialisme Inggris di setiap wilayah yang dijajahnya atau merupakan koloninya.


2. Tenaga Kerja Paksa Menjadi Budak di Maluka
Kondisi wilayah Maluka yang berada di dataran rendah dengan sungai Maluka sebagai sarana transportasi lewat sungai menjadikan daerah Konsesi Maluka sebagai daerah yang ramai. Daerah Konsesi Maluka pada awalnya merupakan daerah yang tak berpenghuni. Menurut M. Fajar A.L. (2004) sebelum etnis lain berdatangan, telah terlebih dahulu terdapat komunitas orang Cina yang berada di kampung parit, atau tepatnya bermukim di kelurahan Angsau wilayah kecamatan Pelaihari, Tanah Laut. Secara makro dapat dilihat dari tinjauan politis, yaitu hubungan persahabatan antara Kerajaan Banjar dan Kerajaan Tiongkok. Kerajaan Banjar mengirimkan surat kepada Raja Tiongkok agar dikirimkan orang-orang yang ahli untuk pembangunan di Kerajaan Banjar. Raja Tiongkok menyetujui dan mengirimkan 11 orang laki-laki yang mempunyai kepandaian khusus, yaitu ahli perkebunan, perdagangan, peternakan, pertanian, pertukangan, perdagangan, perikanan, kerajinan dan obat-obatan.
Sementara itu di daerah Konsesi Maluka dan Tabanio telah terbentuk permukiman Cina yang pertama di daerah Tanah Laut, yaitu mulai terjadi tahun 1790-an. Alasan yang sama juga melatar belakangi pembentukan pemukiman Cina di daerah konsesi Maluka ini, yaitu atas permintaan Sultan Panembahan Batu, orang-orang Cina itu pada mulanya didatangkan sebanyak 13 orang kemudian ditambah lagi dengan 70 orang langsung dari Cina.
Kemudian atas bantuan Hare didatangkan pula sekitar 70 orang ke daerah itu, pada dasawarsa kedua Abad Ke-19. Pada saat itu jumlah mereka lebih dari 150 orang, diangkatlah seorang kapten Cina disana berdasarkan keputusan Residen. Pada perkembangan selanjutnya disamping mendatangkan orang Cina, didatangkan pula oleh Hare sekitar 4000 orang pekerja dari Jawa. Mereka terutama ditempatkan di daerah Konsesi Maluka dan Pulau Sari, Tanah Laut, untuk mengerjakan usahanya dibidang perkebunan dan yang bersedia bekerja sebagai kuli.
Sebagai residen dan penguasa di Kalimantan Tenggara, rencana-rencana Hare di Maluka tak mengalami hambatan berarti. Dengan modalnya, Hare mampu membeli komoditas apa pun di Borneo. Apalagi hanya menyediakan kuli atau buruh. Daerah konsesi Maluka yang luasnya sekitar 1400 mil persegi tersebut, akhirnya digarap oleh pekerja-pekerja paksa yang berasal dari desa-desa di pantai utara Jawa.
Hal ini dilakukan Hare karena jumlah kuli yang disediakan oleh Sultan tidak mencukupi keinginannya. Apalagi Kesultanan Banjar tidak memiliki kelebihan tenaga kerja laki-laki yang bisa membantu di daerah Maluka. Selain sedikitnya jumlah penduduk, pada umumnya penduduk dari Banjarmasin dan Martapura enggan menerima pekerjaan sebagai kuli dan pada umumnya pula penduduk telah mempunyai pekerjaan masing-masing.
Karena itulah, dengan kekuasaannya yang luas dan koneksinya, Hare segera berupaya mendapatkan tenaga kerja yang cukup, dengan mendatangkan dari luar pulau. Berkat koneksinya yang luas dalam birokrasi pemerintahan Inggris, Hare kembali ke Jawa pada tahun 1812 untuk berunding dengan Raffles. ‘Kolusi’ dalam sistem pemerintahan terjadi. Penyediaan tenaga kerja kemudian disetujui oleh Gubernur Jenderal Raffles. Padahal belum pernah terjadi sebelumnya pemerintah Inggris menyediakan tenaga kerja untuk daerah manapun, selain di Maluka.
Untuk mengumpulkan tenaga kerja yang besar, muncul pemikiran Hare dan Raffles. Mereka mengirimkan sejumlah surat edaran kepada Keresidenan-Keresidenan Inggris di Jawa untuk merekrut sejumlah tenaga buruh untuk dipekerjakan di daerah koloni Inggris yang baru di Banjarmasin.
Surat edaran pertama tertanggal 10 Maret 1813, isinya adalah memerintahkan kepada seluruh residen untuk mendata penduduk di daerahnya. Bila ada penduduk pendatang, bukan orang Jawa lalu berbadan sehat dan pernah bekerja di militer agar segera didata dan dikirim ke Banjarmasin untuk bekerja di perkebunan Hare di Maluka. Kemungkinan para pekerja ini akan mulai bekerja di Banjarmasin ketika musim hujan tiba. Para residen juga diminta untuk menggunakan pengaruhnya melalui bupati bupati Jawa untuk rencana tersebut. Tidak ada paksaan yang dipergunakan dalam pelaksanaan perintah ini. Sementara, para pekerja yang prospektif diyakinkan bahwa mereka akan dilindungi oleh Sultan Banjarmasin dan akan diberikan tanah sendiri untuk digarap.
Sayang, surat edaran pertama tidak berhasil dan tak ada yang berminat dengan rencana yang berbasis sukarela ini. Kemudian menyusul dibagikan surat edaran berikutnya tertanggal 31 Mei 1813, yang bersifat memaksa. Isinya adalah bagi laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap tetapi mampu bekerja untuk negara akan dikirim ke Banjarmasin. Perintah baru ini berlaku bagi orang biasa, baik Jawa maupun luar Jawa. Tidak seperti sebelumnya yang hanya berlaku untuk eks tentara yang pernah bertugas di militer. Residen juga akan merekrut penduduk yang akan dipekerjakan sebagai polisi pribumi.
Setelah keluar surat edaran ini, akhirnya secara bersamaan, sekitar 3.200 orang pekerja diangkut ke Banjarmasin. Mereka janjinya akan dibayar pemerintah 25 Rupee untuk setiap orang untuk bekerja di ladang padi dan cabai rawit di Maluka. Padahal, sebagian mereka berangkat karena paksaan dan akhirnya tak dibayar. Banyak para pekerja tersebut dianggap sebagai pengembara atau gelandangan, yang diberangkatkan atas rekomendasi bupati lokal atau aparat kepolisian Jawa.
Kondisi di Jawa saat itu memang memiliki cukup banyak budak yang bisa dijadikan pekerja. Pada masa Raffles, Batavia sendiri malah menjadi pelabuhan internasional perdagangan budak pada masa itu atau menurut istilah Markus Vink (2003) sebagai “Central Rendezvous” yang kemudian dijual ke seluruh tempat di Asia hingga ke Srilangka dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Sementara itu sebagian budak-budak lainnya dipekerjakan di tanah-tanah pertanian dan perkebunan di Pulau Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai gambaran, tahun 1814, Raffles (2008) melakukan sensus terhadap jumlah budak di Pulau Jawa. Jumlahnya cukup banyak dan tersebar di berbagai kota. Di Batavia terdapat budak sejumlah 18.972 jiwa. Lalu, di Semarang terdapat budak 4.488 jiwa. Selanjutnya, di Surabaya terdapat budak 3.628 jiwa. Totalnya mencapai 27.142 jiwa.
Ada tiga kelompok besar pekerja yang dijadikan budak, yang dikirim ke Banjarmasin. Pertama, para penjahat dan narapidana yang masa hukumannya berbeda, dari beberapa bulan sampai hukuman seumur hidup. Selanjutnya para gelandangan, pengembara dan orang yang tak berguna, dimana sebagian dari mereka mendapatkan hukuman buangan yang dilaksanakan dengan pengiriman mereka untuk bekerja di perkebunan Hare tersebut. Terakhir, adalah orang-orang yang diberangkatkan paksa walaupun tak bersalah. Selain laki laki, juga banyak kaum wanita yang dibujuk naik ke kapal Hare dan bahkan ke kapal meriam milik pemerintah Inggris. Janjinya, untuk dikawinkan atau dinikahi oleh orang Inggris di Banjarmasin.
Dari versi lainnya dari beberapa sumber sejarah, dikatakan bahwa suatu hal yang mencoreng nama baik Raffles, yaitu berhubungan dengan pengangkutan tenaga kerja secara paksa dari Jawa ke Banjarmasin. Kejadian ini dianggap oleh para petinggi Inggris lainnya sebagai Banjarmasin Enormity atau tindakan keji di Banjarmasin. karena Alexander Hare adalah sahabat Raffles, dan atas persetujuan Raffles sendiri, Hare dianggap ’menangkap’ 3000 orang Jawa untuk bekerja di Maluka. Hare berdalih itu hanya tenaga kerja biasa. Padahal itu adalah tenaga kerja paksa yang diangkut dengan kapal kecil sehingga penuh sesak.
Dalam literatur lain, anggapannya juga terjadi kolusi antara Hare dan Raffles sehubungan dengan pengadaan tenaga kerja di Maluka. Kebijakan Raffles memang cukup liberal. Tindakannya tak hanya melindungi rakyat kecil terhadap tindakan yang sewenang-wenang, juga mempelopori pemberantasan perbudakan dan larangan perdagangan budak. Akan tetapi dalam hal ini Raffles tidak konsekuen. Ternyata atas permintaan dari Alexander Hare saja sebagai pemilik tanah luas (tanah konsesi) Maluka yang sangat memerlukan tenaga kerja, Raffles tak segan-segannya mengirimkan beberapa ribu orang Jawa yang dikumpulkannya dengan paksa. Dan ternyata nasib pekerja yang dikirimkannya dari 3000 sampai 5000 orang hanya tinggal 600 atau 700 orang saja.
Walaupun Hare mempunyai kemampuan untuk mengatasi segala masalah dengan kekuasaanya, tetapi tak mempunyai pengalaman dalam hal bercocok tanam dan kurang mampu dalam hal administrasi. karena kurangnya perhatian, kondisi pekerja sangat menyedihkan. Sandang dan pangan tidak mencukupi. Dalam laporan keuangan pembiayaan pemukiman pekerja di Banjarmasin di daerah konsesi Maluka mulai 1812-1816 memperlihatkan lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan.
Kondisi perkebunan hare di Maluka tak mengalami perkembangan yang berarti. Pasalnya, banyak pekerja yang ditarik untuk mengerjakan gedung keresidenan yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Demikian juga dengan usaha penambangan emas dan intan gagal sebelum mendapatkan laba. Sultan Sulaiman pun mengeluhkan kondisi anggota para pekerja (rowdies) yang jadi budak di perkebunan cabe rawit Hare, sangat menderita dan mengenaskan karena kekurangan sandang atau makanan.
Sebagai gambaran tentang eksploitasi dan penyiksaan tenaga kerja yang terjadi di Maluka tersebut, terdapat dalam surat James Simpson, seorang pengacara kepada William Boggie, Residen Semarang yang meneliti peristiwa ini. Dari hampir 3167 orang yang berasal dari beberapa daerah jajahan diculik dan dijadikan tenaga kerja paksa, sebelum Mei 1813, diperlakukan tak manusiawi. Rinciannya 453 orang meninggal dunia, 1110 orang melarikan diri ke hutan-hutan tanpa membawa perbekalan yang cukup dan harus mempertahankan diri dari serangan binatang buas, serta 1075 orang dikembalikan ke Jawa oleh komisaris pemerintah. Sisanya, 529 orang tetap di Banjarmasin.
Menurut Moquette (1906), setelah Banjarmasin yang awalnya di bawah pemerintahan Daendels (Belanda) dan kemudian direbut oleh Inggris, lalu dikembalikan lagi pada pemerintahan Daendels, 1 Januari 1817.
Mengenai nasib budak di daerah perkebunan di daerah konsesi Maluka, dibentuk badan komisi yang memeriksa budak yang bekerja paksa di daerah tersebut. Setelah semua pemeriksaan selesai, mereka dikembalikan ke daerah asalnya di Jawa. Mereka terdiri 709 laki-laki, 337 perempuan dan 58 orang anak-anak, kecuali yang belum habis tempo hukumannya. Hal ini berbeda dengan ringkasan laporan Hare tentang tahanan dan pendatang di Banjarmasin, 31 Juli tahun 1816 yang disalin sekretaris C. Assey, yang ditujukan kepada Kantor Akuntan di Batavia. Hare menyebutkan jumlah pekerja di Maluka, laki laki 907 orang, perempuan 451 serta anak anak ada 123 orang.
Eksploitasi pekerja tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai perbudakan karena menurut Anwar Thosibo (2002), ada kemungkinan bahwa perdagangan budak pada dekade pertama Abad Ke-19 terus berlangsung ketika melemahnya otoritas pusat. Setiap koloni Belanda harus diserahkan kepada Inggris pada tahun 1811, satu tahun kemudian Raffles selaku gubernur mengeluarkan larangan perbudakan di wilayah kekuasaannya.
  
Mata Uang Maluka




Sedangkan Morga (1609) mengemukakan bahwa budak-budak merupakan modal dan kekayaan utama penduduk pribumi di kepulauan ini, karena banyak manfaatnya karena diperlukan untuk menggarap ladang pertanian mereka. Maka budak-budak pun dijual, ditukar dan diperdagangkan sama seperti barang dagangan lainnya, dari kampung ke kampung, dari provinsi ke provinsi, dan tentu saja dari pulau ke pulau.
Dari tindakan Raffles dan Hare di daerah perkebunan Maluka, mengindikasikan masih adanya perbudakan yang dijadikan kamuflase bahwa mereka hanya sebagai pekerja biasa dengan mendapatkan upah. Adanya pengumuman Raffles, 31 Mei 1813 yang menggambarkan bahwa perekruten tenaga kerja paksa adalah realisasi perundang-undangan yang dibuat oleh parlemen adalah upaya Raffles untuk menutupi tersebar luasnya peristiwa ini walaupun pada akhirnya terbongkar dan diketahui publik.
3. Penutup
Status atau keberadaan daerah konsesi Maluka sebagai bagian dari Kerajaan Inggris sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi di Eropa. Perang koalisi Eropa terhadap Perancis berakhir pada tahun 1914 setelah Napoleon Bonaparte dapat dikalahkan dalam pertempuran di Leipzig dan kemudian tertangkap, lalu diasingkan ke pulau Elba. Negara-negara koalisi kemudian mengadakan Kongres Wina untuk memulihkan kembali Eropa seperti batas sebelumnya. Kongres yang dilakukan pada tahun 1814 melalui konvensi London (perjanjian London) atau Convention of London. Perjanjian ini dilaksanakan antara Inggris dengan Raja Willem V.
Isi dari Convention of London antara lain adalah Belanda menerima tanah jajahannya kembali yang diserahkan kepada Inggris dalam Penyerahan Tuntang, selanjutnya Inggris memperoleh Tanjung Harapan dan Sailan dari Belanda sebagai upah mempertahankan daerah itu dari kemungkinan serbuan Perancis. Inggris kemudian mengembalikan semua daerah kekuasaan Belanda yang pernah dikuasai oleh Inggris.
Perjanjian antara Belanda dan Inggris memutuskan bahwa Belanda diperbolehkan kembali menduduki bekas kekuasaannya dan dengan perjanjian ini EIC (Inggris) terpaksa melepaskan Batavia pada tahun 1816. Pada tahun tersebut juga pemerintah Belanda dibawah pimpinan Arnand van Bukholz dengan tentaranya datang ke Banjarmasin. Hal ini dilakukan setelah pemerintah Inggris terlebuh dahulu meninggalkan Kerajaan Banjarmasin lalu bendera kerajaan Banjar. Belanda kembali menancapkan kuku penjajahannya dengan membuat perjanjian dengan Sultan.

Referensi :

- Anwar Thosibo. Historiografi Perbudakan, Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX. Indonesiatera, Magelang, 2002,hal. 132. Juga terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI), W.J.S. Poerwadarminto, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 157. Senada dengan pengertian budak menurut Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj. Sori Siregar, dkk, LP3ES, 2004, hal. 4.
- Baharuddin Lopa, Kolusi, Majalah Berita Mingguan GATRA, 20 Juli 1996 (No.36/II) Rubrik : Kolom.
- Archift Van Het Den Sulthan Van Bandjarmasin Oktober 1812, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta, 1965. Juga terdapat dalam artikel J. P. Moquette. Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka. Albrecht & Co and M. Nijhoff, Batavia, 1906, Hal 491. Artikel ini di kumpulkan oleh Van Ronkel dalam buku Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde, tahun 1906.
- Amir Hasan K Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, MAT. Pertjetakan Fadjar, 1953, hal. 32.
- Graham Irwin. Ninetenth–Century Borneo, A Study in Diplomatic Rivalr,.Malaya, S. Gravenhage-Martinus nijhoff, 1955, hal.16,
- Moch. Fajar Amrullah. Proses Datangnya etnis china di Banjarmasin Kurun Waktu 1970-1990 (Studi Kasus Di Kelurahan Kampung Melayu Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin), Skripsi pada PSP Sejarah FKIP Unlam, Banjarmasin, 2004, hal. 52-54.
- Bambang Subiyakto. Pelayaran Sungai di Kalimantan Tenggara, Tinjauan Historis Tentang Transportasi Air Abad Ke-19, Tesis program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 1999, hal. 29.
Sjafii. Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles, Mutiara, Jakarta, 1982, hal. 20.
- Artikel De Banjarmasinsche Aeschuwelijkheid serta Bijdragen 1-4 yang terdapat dalam Bijragen Taal land En Volkenkunde Van Nederland Indie, Frederik Muller, Batavia, 1860, hal 1-4.
- Anonim. Sedjarah Indonesia Djilid II, KPPK Semarang, 1953, hal. 109.
- Dinas Museum dan Sejarah Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta (1750-1945), 1993. hal. 45.
G.L.Tichelman. Blanken Op Borneo, A.J.G. Strengholt, Amsterdam, 1949. hal 71.



Mata Uang Maluka yang diperdagangkan di Pasar Gelap oleh kolektor










To Be Continued...........................